Google didenda di India dan Amerika Serikat (AS) triliunan rupiah. Raksasa teknologi ini pun tengah diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia terkait pungutan di Google Play Store.

Komisi Persaingan India atau The Competition Commission of India (CCI) mengenakan denda Rs 936,44 crore atau sekitar US$ 113 juta (Rp 1,8 triliun). Google dinilai menyalahgunakan toko aplikasi Play Store.

CCI pun meminta Google mengubah kebijakan dan diberi tenggat waktu.Perubahan ini mencakup perizinan developer aplikasi seluler untuk menggunakan layanan pembayaran pihak ketiga di toko aplikasi.

"Google diberi waktu 30 hari untuk memberikan rincian keuangan yang diperlukan dan dokumen pendukung," demikian isi perintah CCI dikutip dari Indian Express, Rabu (26/10).

Menurut CCI, kebijakan Play Store mengharuskan pengembang aplikasi secara eksklusif dan wajib menggunakan sistem penagihan Google Play (GPBS) tidak hanya untuk menerima pembayaran untuk aplikasi dan produk digital lainnya, tetapi juga pembelian dalam aplikasi tertentu.

Pengembang aplikasi juga tidak dapat memberikan tautan (link) langsung tentang metode pembayaran alternatif kepada pengguna di luar Play Store. Jika mereka tidak mematuhi GPBS, mereka tidak diizinkan untuk mencantumkan aplikasi di Play Store.

“Membuat akses ke Play Store bergantung pada penggunaan wajib GPBS untuk aplikasi berbayar dan pembelian dalam aplikasi adalah satu sisi dan sewenang-wenang, dan tanpa kepentingan bisnis yang sah,” kata CCI

Developer aplikasi kehilangan pilihan yang melekat untuk menggunakan prosesor pembayaran yang mereka sukai dari pasar terbuka,” tambah CCI.

CCI telah menyelidiki kebijakan Google Play Store sejak 2020. Ini atas keluhan dari developer aplikasi domestik.

KPPU Indonesia Selidiki Google

KPPU juga menyelidiki keluhan sejumlah startup mengenai pungutan yang diambil oleh Google untuk aplikasi di Play Store. Biaya ini disebut Google Play Billing (GPB).

“Sudah masuk ke tahap penyelidikan,” kata Direktur Ekonomi Kedeputian bidang Kajian dan Advokasi KPPU Mulyawan Ranamanggala kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu (21/10).

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur menjelaskan, startup mengeluhkan kebijakan Google Play Billing. “Kewajiban penggunaan GPB dan biaya yang tinggi,” kata ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (20/10).

Google Play Store (Google)

Google menjelaskan, Google Play membantu para developer menampilkan karya untuk pengguna. Sedangkan konsumen bisa menemukan konten di platform ini.

“Google Play menjaga keamanan dengan fitur Play Protect, juga membuat pembayaran aman dan mudah, serta memungkinkan berbagai metode pembayaran,” kata Communications Manager Google Indonesia Feliciana Wienathan kepada Katadata.co.id.

Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS) itu menyampaikan bahwa mereka menginvestasikan sejumlah uang untuk meningkatkan layanan Google Play Store. Ini untuk memastikan developer memiliki akses ke tools baru yang bertujuan membantu pengembangan bisnis.

“Misalnya, untuk mengoptimalkan listing di Apps Store dan proses penyediaan aplikasi, pengujian beta, serta analisis. Selain itu, meningkatkan keterampilan para developers lokal agar mempercepat laju ekonomi digital,” kata Felicia.

Google Didenda di Amerika

Selain terkait GBP, Google didenda di Amerika Serikat terkait dugaan mengambil data biometrik jutaan pengguna di Texas tanpa izin sejak 2015. Data biometrik yang dimaksud seperti wajah, suara hingga sidik jari.

“Di seluruh negara bagian, setiap hari warga Texas menjadi ‘sapi perah’ tanpa disadari yang diperah oleh Google untuk mendapatkan keuntungan,” kata Jaksa Agung Texas Ken Paxton dikutip dari Reuters, akhir pekan lalu (21/10).

Sebelumnya, Jaksa Agung Arizona Mark Brnovich menggugat Google pada Mei 2020. Ia mengklaim bahwa ‘pola gelap’ atau ‘dark patterns’ dibangun di dalam perangkat lunak (sofware) Google di ponsel atau aplikasi Android.

Dark patterns adalah antarmuka pengguna yang dibuat untuk mengelabui pengguna agar melakukan sesuatu, seperti membeli asuransi yang mahal.

Gugatan tersebut menyebutkan bahwa Google terus melacak lokasi pengguna Android untuk mengumpulkan data iklan.

“Bahkan setelah pengguna mematikan berbagi lokasi, dan membuat pengaturan privasi untuk menjaga informasi lokasi tetap sulit ditemukan,” demikian isi gugatan dikutip dari The Verge, tiga pekan lalu (7/10).

Reporter: Lenny Septiani