Edisi Khusus | Masyarakat Adat

Penurunan Emisi Karbon FoLU 2030 Dinilai Langgar Hak Masyarakat Adat

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Ilustrasi hutan adat.
14/7/2022, 11.28 WIB

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan rencana kawasan hutan melalui Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) dan rencana pembangunan melalui rencana strategis untuk mendukung penurunan emisi karbon pada sektor Forest and other Land Uses (FoLU).

RKTN memuat arahan makro pemanfaatan dan penggunaan spasial atau ruang dan potensi kawasan hutan untuk pembangunan kehutanan dan pembangunan di luar kehutanan yang menggunakan kawasan hutan dalam skala nasional untuk jangka waktu 20 tahun dari tahun 2011-2030.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga merilis Net sink FoLU 2030 yang tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) LHK nomor 168 tahun 2022 sebagai bagian strategi Indonesia untuk menjamin tercapainya tujuan Paris Agreement dengan menahan kenaikan laju suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Net sink FoLU 2030 pun menjadi panduan Indonesia dalam melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan Iklim. Walau begitu, dokumen tersebut masih mendapat kritikan dari sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Perkumpulan Hukum dan Masyarakat (HuMa) Indonesia.

Direktur Eksekutif HuMa, Agung Wibowo, mengatakan luas hutan adat yang tercatat di Net sink FoLU 2030 hanya seluas 79 ribu hektar di 89 komunitas masyarakat hukum adat. Luasan tersebut jauh lebih kecil dari data Rakornas Hutan Adat yang luasannya dibagi berdasarkan regio.

Adapun regio Kalimantan seluas 3.633.246 hektar, regio Sulawesi 859.533 hektar, regio Sumatera 449.709 hektar, regio Jawa, Bali, Nusa Tenggara seluas 117.955 hektar dan regio Maluku dan Papua seluas 1.145.383 hektar.

"Kenapa ini penting? Karena kalau memulai bisnis atau mau memulai kebijakan, kedua belah pihak itu haknya harus terpenuhi dulu, baik itu hak masyarakat maupun hak si pemberi hak, yakni negara," kata Agung dalam diskusi publik bertajuk Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia: Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat dalam Rencana FoLU Net Sink 2030 pada Rabu (13/7).

Agung pun menjelaskan, momen penyerahan hutan adat pertama dalam sejarah Indonesia pada 31 Desember 2016 bukanlah merupakan pemberian negera, melainkan hasil tagihan masyarakat hukum adat yang menggugat Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi.

Tuntutan tersebut menghasilkan keputusan yang mengoreksi kekeliruan negara yang selama ini memasukkan kawasan hutan adat menjadi hutan negara. Lebih lanjut, Agung juga mengkritisi adanya pengusulan hutan adat yang dicanangkan oleh KLHK di Net sink FoLU 2030 halaman 105.

Menurutnya, motivasi pengusulan hutan adat tersebut lebih banyak dilatar belakangi oleh kepentingan akses ekonomi kepada lahan dibanding dengan motif perlindungan ekosistem hutan dan perlindungan tatanan adat.

"Kalau ini dijadikan motif dalam kebijakan sebenarnya itu cukup keliru, maka proses pengakuan hutan adat berlangsung relatif lama," sambung Agung.

Dia menjelaskan bahwa motivasi pengusulan hutan adat melenceng dari hasil kebijakan hutan adat yang lahir dari gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara terhadap UU nomor 41 yang merasa kehilang akses dalam melakukan pemanfaatan kawasan hutan.

"Yang tidak kalah penting adalah juga masih punya kriminalisasi terhadap masyarakat hukum adat di dalam kawasan hutan. Jadi kalau kita mau bicara Net sink FoLU 2030, negara harus menyelesaikan perkara-perkara lama ini," ujarnya Agung.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Departemen Pembinaan Sumber Daya Hutan (SDH) Perum Perhutani, Herta Pari, mengatakan Net sink FoLU 2030 sejalan dengan prinsip-prinsip pengolahan hutan. Seperti adanya kegiatan penanaman dan akses masyarakat terhadap hutan yang dapat membantu bisnis pertanian.

"Harus ada kombinasi mulai dari pemberdayaan agar itu bisa berjalan baik sehingga pada 2030 diharapkan kehutanan tidak lagi sebagai pengotor lingkungan, tapi malah bisa nol ataupun bisa plus dalam penyerapan karbon dan pemberdayaan masyarakat adat," kata Herta.

Herta menyebut ada sejumlah tantangan yang harus dibereskan secara bersama, yakni konsistensi dan komitmen dari seluruh pihak yang terlibat dalam upaya Net sink FoLU 2030. Dia berharap, pemerintah bisa tetap konsisten dalam menjalankan rencana tersebut, sekalipun nantinya ada perubahan dalam pimpinan. Herta juga meminta kelompok masyarakat di akar rumput untuk bersatu dan menyatukan suara antar tingkat masyarakat.

"Tidak hanya hanya bunyi saja ataupun hanya di lisan, tapi diimplementasikan di lapangan. Kami tidak tahu nih nanti pergantian pemerintahan untuk selanjutnya seperti apa. Diharapkan nanti pemerintah yang baru juga bisa melanjutkan apa yang sudah dikomitmenkan oleh pemerintah sebelumnya," tukas Herta.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu