ESDM Kebut Pengembangan Teknologi CCS dan CCUS, Ini Tiga Tantangannya

Leonid Sorokin/123RF
Ilustrasi emisi karbon.
Penulis: Nadya Zahira
11/9/2023, 16.22 WIB

Kementerian ESDM berupaya mempercepat pengembangan penangkapan karbon, baik teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) maupun Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Indonesia.

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, penerapan CCS/CCUS penting diterapkan di Indonesia karena bisa menekan emisi karbon dalam rangka mengejar target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Selain itu Indonesia berpotensi menjadi pelopor dalam implementasi teknologi penangkapan karbon di Asia Tenggara, baik CCS maupun CCUS. Namun, Tutuka mengatakan bahwa penerapan teknologi tersebut di indonesia tentu tidak mudah karena adanya sejumlah tantangan.

Pertama, dari sisi resiko dampak lingkungan. Menurutnya, pengangkutan CO2 (karbon dioksida) dapat membawa dampak yang jelas bagi risiko lingkungan.

"Maka dari itu, kami perlu adanya kolaborasi lintas negara untuk memperjelas penanggung jawaban risiko dari sisi lingkungannya dari adanya penerapan CCS/CCUS ini," ujar Tutuka saat ditemui awak media, di Hotel Mulia, Jakarta, Senin (11/9).

Dia mengatakan tantangan kedua yakni terkait teknis di mana perlu menjamin bahwa tidak adanya kebocoran karbon setelah dilakukan injeksi. Pasalnya, CO2 berhubungan dengan air, yang lambat laun menyebabkan adanya korosif sehingga menimbulkan kebocoran.

"Jadi tidak lari kemana-mana itu nanti akan jadi masalah lingkungan. Kita harus pastikan dengan aturan yang ada, bahwa tidak terjadi kebocoran setelah diinjeksikan," kata Tutuka.

Selanjutnya, dia menyebutkan tantangan ketiga yakni terkait keekonomian atau biaya. Tutuka menuturkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membangun CCS/CCUS di Indonesia cukup besar. Untuk itu, pemerintah saat ini gencar mencari investor baik dari luar maupun dalam negeri.

Berdasarkan studi Ekonomi bagi ASEAN dan Asia Timur (ERIA) menyebutkan bahwa biaya pengambilan karbon sekitar US$ 45,92, sedangkan biaya untuk penyimpanan karbon sekitar US$ 15,93, "Penangkapan merupakan hal yang paling mahal dalam hal biaya penangkapan CO2," ujar Tutuka.

Untuk menjawab semua tantangan pengembangan CCS/CCUS tersebut, Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Mirza Mahendra mengatakan, pemerintah sedang menyusun rancangan Peraturan Presiden tentang CCS untuk memperluas implementasi CCS.

Ini termasuk CCS Hub, CCS lintas batas, CO2 dari industri, dan pemanfaatannya di wilayah kerja non-migas. Setidaknya terdapat tiga poin utama yang melandasi perlunya Peraturan Presiden ini.

Pertama diperlukan landasan hukum untuk mendukung pengembangan CCS yang aman dan efektif, serta memberikan kepastian hukum bagi para investor.

Kedua, untuk mengakomodasi pelaksanaan kegiatan CCS yang terintegrasi dari seluruh sektor dan transportasi lintas batas CO2. “Kemudian yang ketiga yaitu pemanfaatan potensi simpanan geologi Indonesia sebagai CCS Hub,” ujarnya.

Dia menyebutkan, saat ini Indonesia sudah memiliki 15 proyek kajian CCS/CCUS yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua. Sebagian besar proyek tersebut ditargetkan onstream sebelum tahun 2030, di mana total potensi injeksi CO2 antara tahun 2030 hingga 2035 berkisar 25 hingga 68 juta ton.

“Pemerintah bahkan berencana mengembangkan peraturan serta kajian pemetaan penyimpanan CO2 di luar wilayah kerja migas,” ujar Mirza.

Pemerintah sejatinya telah merilis aturan CCUS lewat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaran Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Reporter: Nadya Zahira