Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Enegeri dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, mengatakan karbon yang ditangkap dari teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) nantinya bisa dijual di pasar karbon. Teknologi CCS harus dikembangkan dan direalisasikan agar sektor migas bisa benar-benar masuk dalam perdagangan karbon.
Secara sederhana CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan emisi karbon dioksida atau CO2 dari kegiatan industri sehingga tidak mencemari udara. Kemudian, CO2 tersebut dimasukkan ke dalam sumur-sumur minyak dan gas yang sudah kosong.
Tutuka mengatakan, saat ini perdagangan karbon yang sudah terdaftar di Otorita Jasa Keuangan (OJK) baru dari industri luar migas, misalnya sektor pembangkit geothermal atau panas bumi. Dengan teknologi CCS, sektor migas bisa ikut dalam perdagangan karbon.
“Kalau CCS nanti sudah jalan, maka potensi nilai bagi perdagangan karbon itu sangat besar,” kata dia dalam acara DETalk bertajuk ‘Strengthening Indonesia as a Global LNG and LPG Player, yang disiarkan melalui daring, Rabu (1/11).
Dia pun menjelaskan bagaimana karbon hasil penangkapan CCS bisa dijual di Bursa Karbon:
1. Pemilik CCS harus mendaftarkan jumlah karbon yang didapatkan dari teknologi CCS tersebut
2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan melakukan validasi jumlah karbon yang didaftarkan, lalu membuat laporan dan verifikasi
3. Setelah verifikasi, KLHK menerbitkan Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) untuk masuk ke bursa karbon
Tantangan CCS
Namun demikian, dia menuturkan, terdapat beberapa tantangan dalam menjalankan teknologi CCS. Adapun tantangan tersebut yakni tata kelola dan regulasi, kerja sama komersial, fiskal yang atraktif dan bersaing, transportasi karbon, teknologi berskala industri, serta pengembangan CCS Hub di Indonesia yang menghubungkan berbagai sumber emisi ke lokasi injeksi di Indonesia.
Tutuka menyebutkan potensi penyimpanan di sektor minyak dan gas sekitar 4,31 gigaton CO2 berdasarkan grafik sementara dari penelitian. Potensi kapasitas penyimpanan yang sangat besar itu dapat digunakan lebih cepat untuk mendukung pengurangan emisi.
Selain itu, dia menyebutkan, saat ini Indonesia sudah memiliki 15 proyek kajian CCS/CCUS yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua. Sebagian besar proyek tersebut ditargetkan onstream sebelum 2030, di mana total potensi injeksi CO2 antara tahun 2030 hingga 2035 berkisar 25 hingga 68 juta ton.
“Pemerintah bahkan berencana mengembangkan peraturan serta kajian pemetaan penyimpanan CO2 di luar wilayah kerja migas,” ujarnya.
Pemerintah sejatinya telah merilis aturan CCUS lewat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaran Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Pada Pasal 6, pemerintah mengizinkan penangkapan emisi karbon dalam penyelenggaraan CCUS dapat berasal dari industri di luar kegiatan usaha hulu migas.
Mengutip Climate Transparency Report 2021, baru ada 11 negara G20 yang memiliki skema tarif emisi karbon eksplisit di negaranya, baik melalui pajak karbon atau emission trading system (ETS). Dari daftar negara tersebut, Perancis memiliki tarif rata-rata tertinggi.
Rata-rata tarif karbon di Perancis tercatat sebesar US$ 54 per ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2e). Perancis juga satu-satunya negara yang menetapkan tarif di atas batas Komisi Tingkat Tinggi terhadap Tarif Karbon yang sebesar US$ 40/tCO2e.