Malaysia akan memantau dengan seksama bagaimana Uni Eropa menanggapi keputusan World Trade Organization (WTO) yang mendukung pendapat blok tersebut bahwa bahan bakar nabati yang menyebabkan deforestasi tidak dapat dianggap sebagai energi terbarukan. Namun, Malaysia juga menuntut perubahan-perubahan dalam cara Uni Eropa mengimplementasikan keputusan tersebut.
Sebuah panel WTO, dalam keputusan pertamanya yang terkait dengan deforestasi, menolak sebagian besar klaim Malaysia terhadap langkah-langkah Uni Eropa yang membuatnya mengesampingkan bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit sebagai bahan bakar terbarukan.
Namun, panel tersebut juga menerima keluhan Malaysia mengenai bagaimana langkah-langkah Uni Eropa tersebut disiapkan, dipublikasikan, dan dikelola. Uni Eropa perlu melakukan penyesuaian, tetapi tidak perlu menarik tindakannya, pasca keputusan WTO ini.
Menurut laporan Reuters, Komisi Eropa mengatakan bahwa mereka menyambut baik bahwa laporan panel WTO mengizinkan Uni Eropa untuk mempertahankan kerangka hukumnya mengenai energi terbarukan dan bahan bakar hayati secara luas. Uni Eropa menegaskan bahwa mereka memiliki hak untuk mengambil tindakan demi mengatasi emisi gas rumah kaca.
Komisi Eropa mengatakan bahwa mereka sedang menganalisis laporan tersebut. Namun, mereka percaya bahwa mereka perlu mengeluarkan laporan mengenai data ilmiah terbaru untuk menentukan apakah tanaman sawit memiliki risiko tinggi berkontribusi terhadap deforestasi, dan mengamandemen sebuah undang-undang untuk mengubah kriteria tertentu untuk sertifikasi bagi tanaman yang memiliki risiko rendah. Hal ini akan dilakukan dalam beberapa bulan mendatang.
"Pemerintah Malaysia akan memantau setiap perubahan pada peraturan Uni Eropa agar sesuai dengan temuan WTO dan melanjutkan proses kepatuhan jika diperlukan," ujar Menteri Perkebunan dan Komoditas Johari Abdul Ghani, pada Rabu (6/3).
Malaysia, produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia, telah menggambarkan peraturan energi terbarukan Uni Eropa sebagai peraturan yang diskriminatif. Pada tahun 2021, Malaysia meminta WTO untuk memeriksa peraturan yang membatasi penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit di blok tersebut.
Berdasarkan peraturan tersebut, bahan bakar berbasis minyak kelapa sawit tidak dapat lagi dianggap sebagai bahan bakar transportasi terbarukan dan akan dihapuskan secara bertahap pada tahun 2030. Uni Eropa telah menetapkan bahwa budidaya kelapa sawit menyebabkan deforestasi yang berlebihan.
Johari mengatakan bahwa laporan WTO tersebut menemukan kesalahan dalam aturan Uni Eropa mengenai perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung yang melarang penggunaan bahan bakar nabati dari kelapa sawit. Laporan WTO juga menemukan kesalahan pendekatan Uni Eropa dalam memberitahukan dan berkonsultasi dengan negara-negara lain ketika memperkenalkan langkah-langkah perdagangan yang baru.
"Keputusan WTO ini menunjukkan klaim diskriminasi Malaysia memang benar adanya," ujar Johari. Ia mengatakan pemerintah Malaysia akan terus membela kepentingan para pelaku industri bahan bakar nabati kelapa sawit dari berbagai hambatan perdagangan.