Ambisi Besar Konsorsium BUMN Bentuk Holding Baterai Kendaraan Listrik

123RF.com/Hannu Viitanen
Ilustrasi. MIND ID, Pertamina, dan PLN akan bentuk holding bisnis baterai bernama Indonesia Holding Battery.
1/2/2021, 19.09 WIB

Setelah itu, fasilitas daur ulang rencananya akan dilaksanakan oleh PT Nasional Hijau Lestari (NHL). "Studi yang direncanakan baru masuk empat hingga lima tahun ke depan," kata dia.

Apabila industri baterai terbangun, Indonesia memiliki potensi terbesar untuk membangun ekosistem industri EV terbesar di kawasan Asia Tenggara. Bisnis baterainya akan dari hulu hingga hilir, kemudian infrastruktur charging station sampai dengan sistem daur ulang baterainya.

Ilustrasi SPBKLU kendaraan listrik.  (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.)

Holding Baterai Butuh Investasi Hingga US$ 17 Miliar

Untuk membangun ekosistem industri baterai listrik secara terintegrasi dari hulu sampai hilir itu kebutuhan investasinya mencapai US$ 13 miliar hingga US$ 17 miliar. Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak menyebut, dari investasi tersebut sebanyak 30% berasal dari ekuitas tiga BUMN yang berada di holding.

Kemudian, sisanya 70% berasal dari kerja sama dengan investor dan pinjaman. "Pendanaan sampai US$ 17 miliar itu dari hulu ke hilir sampai selesai. Pelaksanaan akan bertahap," kata dia.

Tahap awal adalah sektor hulu. Antam akan memimpin pembentukan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) serta mengamankan produksi nikel. Kebutuhan investasinya sekitar US$ 5 miliar sampai US$ 10 miliar. "Di hulu ada investasi besar bukan di tambangnya tapi teknologi high pressure acid leaching (HPAL)," kata dia.

Orias mengatakan Pertamina akan bekerja sama dengan LG Chem untuk membangun industri midstream atau hulu pengolahan baterai. Sedangkan PLN akan secara masif mengembangkan SPKLU tempat pengisian daya dan pemasaran kendaraan listrik.

Kesepakatan pembentukan holding untuk menjalankan bisnis baterai ini belum terealisasi. Semua pihak masih melakukan pembahasan. Padahal dua perusahaan asing telah berminat bergabung dalam bisnis tersebut.

Lima Pemain Mobil Listrik di Indonesia (Katadata)

DPR Dorong Pembangkit Energi Terbarukan

Direktur Mega Project PLN Ikhsan Asaad mengatakan sejak terbitnya aturan percepatan kendaraan listrik berbasis baterai, perusahaan telah memulai menginisiasi pengembangan SPKLU. Pemerintah juga telah menerbitkan tarif listriknya dengan rata-rata Rp 1.500 per kilowatt hour (kWh). 

Ke depan, supaya skala keekonomiannya lebih menarik bagi investor, Ikhsan mengharapkan dukungan Komisi VII untuk membuka open tariff. Lalu, perlu pula kemudahan perizinan lahan dalam kegiatan pengembangan usaha SPKLU dan SPBKLU. 

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Ramson Siagian mengatakan pihaknya siap mendukung program percepatan kendaraan listrik. Termasuk di dalamnya soal anggaran dan regulasi.

Namun, ia meminta agar program itu tak hanya menjadi retorika politik menjelang 2024 atau berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo. Paparan tim percepatan proyek baterai kendaraan listrik, ia nilai belum terstruktur, terutama soal teknologi, kapasitas manajemen, dan dana. “Ini harus betul-betul konkrit,” katanya. 

Isu yang tak kalah penting adalah soal pembangkit listrik PLN yang mayoritas masih didominasi bahan bakar batu bara. Padahal, salah satu tujuan pengembangan kendaraan listrik adalah penurunan emisi karbon dibandingkan memakai bahan bakar minyak. 

Masalahnya, Indonesia masih memiliki proyek pembangkit 7 ribu megawatt (MW) pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 35 ribu megawatt di pemerintahan Jokowi. Dari program ini saja, pembangkit yang masih memakai batu bara mencapai 50% dari total keseluruhan. “Jadi, 20 tahun ke depan energi primer batu bara masih menguasai  negara ini,” ujarnya. 

Komisi VII pun mendorong agar energi baru terbarukan (EBT) dapat dimanfaatkan potensinya secara maksimal. Namun sejauh ini, hanya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan pembangkit listrik tenaga surya atau disingkat (PLTS) yang dapat diandalkan. Pemanfaatan pembangkit listrik energi terbarukan pun baru sekitar 10% dari potensinya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan