Beberapa Strategi Shell Tekan Emisi Karbon dan Dorong Transisi Energi

Arief Kamaludin (Katadata)
SPBU Shell. Shell Indonesia menyiapkan sejumlah strategi untuk membantu Indonesia mengejar transisi energi Indonesia, serta mencapai target net zero emissions atau nol emisi karbon Royal Dutch Shell pada 2050.
5/5/2021, 14.28 WIB

Perusahaan energi dunia mulai menunjukkan komitmennya untuk mendukung penggunaan energi bersih dan berkelanjutan. Shell Indonesia adalah salah satunya. Hal ini sejalan dengan target Royal Dutch Shell untuk mencapai net zero emissions atau nol emisi karbon pada 2050.

Presiden Direktur dan Country Chair Shell Indonesia Dian Andyasuri mengatakan ingin bertumbuh kembang dengan industri tanah air guna mendukung percepatan transisi energi. Dukungan tersebut salah satunya dengan menghadirkan produk yang ramah lingkungan.

Ini sejalan dengan program Shell powering progress untuk mempercepat transisi bisnis menuju target net zero emissions. Ia memastikan produk yang dihasilkan juga memiliki jejak karbon yang minimal untuk dipakai industri.

"Kami terus berkomitmen untuk agenda rendah karbon," ujarnya dalam CEO Talks’ Webinar: “Sustainability ExecutiveConnect", Rabu (5/5). "Di samping itu guna mendukung upaya pemerintah mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025. Shell juga telah memasang PLTS atap di beberapa SPBU dan pabrik pelumas."

Manager Shell Indonesia Joel Schriven menambahkan setidaknya ada beberapa strategi untuk berkontribusi terhadap pencapaian target target net zero emissions 2050 Shell.

Strategi tersebut mencakup peningkatan pasokan produk yang lebih ramah lingkungan seperti biofuel, hidrogen, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), serta menyimpan sisa emisi karbon dengan menggunakan teknologi atau alam.

Meski demikian, ia mengatakan bahwa akan ada emisi yang tidak bisa dihindari ataupun dikurangi yang terlepas ke atmosfer. "Oleh sebab itu, ada mekanisme kredit karbon. Satu kredit karbon mewakili penghindaran atau penghilangan satu ton karbon dioksida dari atmosfer," ujarnya.

Shell pun telah berinvestasi hingga ratusan juta dolar per tahun untuk kredit karbon dari konservasi alam dan restorasi ekosistem di seluruh dunia. Shell juga memiliki meja perdagangan karbon di California, London, Shanghai, dan Singapura yang telah menerapkan pasar karbon sukarela serta portofolio yang berkembang secara global.

Mengutip dari laman resminya, strategi global Royal Dutch Shell untuk mencapai net zero emissions pada 2050 yaitu menetapkan target jangka pendek penurunan emisi karbon yakni 6 - 8% pada 2023, 20% pada 2030, 45% pada 2035, dan 100% pada 2050 berdasarkan baseline tahun 2016.

Shell memperkirakan total emisi karbonnya mencapai puncaknya pada 2018 yakni pada 1,7 gigaton per tahun. Sedangkan total produksi minyaknya mencapai puncak pada 2019.

Sebagai salah satu langkah untuk mencapai target jangka pendek tersebut Shell akan berupaya menambah kapasitas penangkapan, dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) hingga 25 juta ton per tahun pada 2035.

Saat ini ada tiga proyek CCS utama di mana Shell menjadi bagiannya, yakni Quest di Kanada (operasional), Northern Lights di Norwegia (terkena sanksi), dan Porthos di Belanda (masih direncanakan), akan memiliki total kapasitas sekitar 4,5 juta ton.

Shell bertujuan menggunakan solusi berbasis alam (nature based solution/NBS), sejalan dengan filosofi hindari, kurangi dan hanya kemudian mitigasi, untuk mengimbangi (offset) 120 juta ton emisi karbon per tahun pada 2030.

Sebagai informasi, Shell merupakan perusahaan energi dengan laba terbesar ketiga di dunia pada 2019, yakni mencapai US$ 15,8 miliar, di bawah Gazprom (Rusia) US$ 18,6 miliar, dan Saudi Aramco (Arab Saudi) yang membukukan laba hingga US$ 88,2 miliar.

Namun pandemi Covid-19 memberikan pukulan keras terhadap kinerja perusahaan energi asal Belanda ini. Hingga semester I 2020, Shell membukukan kerugian hingga US$ 23,8 miliar. Simak databoks berikut:

Reporter: Verda Nano Setiawan