Pemerintah Tambah Pembangkit Listrik 41 GW Hingga 2030, 48% dari EBT

ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/hp.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Kamis (8/4/2021).
Penulis: Happy Fajrian
30/5/2021, 10.14 WIB

Pemerintah berencana menambah pembangkit listrik hingga 41.000 megawatt (MW) atau 41 gigawatt (GW) dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Pemerintah masih mengedepankan pembangkit berbahan bakar fosil ketimbang energi baru terbarukan (EBT).

Dalam rancangan penyusunan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN periode 2021-2030 komposisi pembangkit listrik yang akan dibangun selama satu dekade ke depan, termasuk tahun ini, yaitu 52% pembangkit listrik fosil dan 48% EBT.

“Penambahan pembangkit EBT sekitar 16,1 GW atau mendekati 40% terdiri dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air), PLTP (pembangkit listrik tenaga panasbumi), dan EBT lainnya,” kata Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, seperti dikutip Antara, Minggu (30/5).

Dia menambahkan, besaran kapasitas pembangkit listrik terpasang saat ini mencapai 63 GW. Dengan tambahan tersebut maka total kapasitas terpasang dalam 10 tahun ke depan mencapai lebih dari 100 GW.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Sabtu, mengatakan pemerintah menjamin perencanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan mengedepankan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).

Pada tahun ini pemerintah menargetkan penambahan kapasitas energi sebesar 8.915 MW, dengan rincian sebesar 4.688 MW beasal dari pembakaran batu bara di PLTU Mulut Tambang dan pembakaran gas sebesar 3.467 MW.

Sedangkan sisanya sebesar 22 MW bersumber dari pembangkit tenaga diesel dan 737 MW bersumber dari pembangkit energi baru terbarukan berupa air, panas bumi, bio hibrid, serta matahari. Rida merinci sekitar 34.528 MW telah selesai didiskusikan dengan PLN, sementara 6.439 MW masih dalam tahap diskusi lanjutan.

Berdasarkan aturan yang ada, RUPTL disusun setiap 10 tahun dan bisa dilakukan perubahan apabila dari hasil evaluasi memerlukan perbaikan. Perubahan juga bisa terjadi karena ada diskresi Menteri ESDM atau gubenur sesuai dengan kewenangan mereka.

"Intinya draf RUPTL masih berproses, masih diskusi, masih mengidentifikasi beberapa. Banyak yang sudah kami sepakati, tapi ada juga yang memerlukan arahan dari pimpinan," jelas Rida.

Terdapat sejumlah pokok permasalahan yang harus disesuaikan dalam RUPTL tersebut, yaitu target rasio elektrifikasi 100% pada 2022. Pemerintah juga akan menjaga keseimbangan neraca daya setiap sistem tenaga listrik untuk kecukupan pasokan tenaga listrik.

Selain itu ada pula pencapaian target bauran energi baru terbarukan 23% mulai 2025 dan menjaga agar biaya pokok penyediaan tidak naik, tidak lagi menambah PLTU batu bara kecuali yang sudah financial closing atau konstruksi.

Simak pencapaian bauran energi pada pembangkit listrik hingga semester I 2020 pada databoks berikut:

Pemerintah juga akan merelokasi pembangkit untuk mengurangi kelebihan pasokan di Jawa, mempercepat interkoneksi dalam pulau dan antar pulau dalam rangka peningkatan keadalan, menurunkan biaya pokok penyediaan dan sharing resource energi terbarukan.

Reporter: Antara