Potensi Besar PLTS Atap untuk Kejar Target Bauran EBT 23% pada 2025

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021). Kementerian ESDM hingga Maret 2021 telah membangun sebanyak 193 unit PLTS atap gedung, sementara sepanjang 2021-2030 pemerintah juga menargetkan pembangunan PLTS dengan kapasitas sebesar 5,432 Mega Watt untuk menurunkan emisi hingga 7,96 juta ton karbondioksida.
28/7/2021, 17.37 WIB

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan membantu pemerintah dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025.

Selain itu, revisi ini juga memberikan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang besar. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan perbaikan regulasi ini dapat membantu pemulihan ekonomi Indonesia dari Covid-19 dan memenuhi komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).

Hingga akhir 2020, bauran EBT Indonesia baru sekitar 11,5%. Berdasarkan perhitungan IESR, untuk mengejar target 23% dalam empat tahun ke depan, Indonesia harus membangun 14-18 GW pembangkit listrik EBT.

“Mencermati rancangan RUPTL 2021-2030, kami melihat hingga 2025 tambahan pembangunan energi terbarukan kurang dari 14 GW. Untuk itu, pemerintah semestinya melibatkan masyarakat dan pelaku di luar PLN untuk membangun pembangkit energi terbarukan,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Rabu (28/7).

Menurut dia gotong royong mewujudkan pemanfaatan EBT yang paling potensial dilakukan ialah dengan mendorong adopsi PLTS atap secara besar-besaran. Apalagi sesuai hasil survei pasar IESR, terdapat potensi pasar 9-11% atau sekitar 7-8 juta rumah tangga yang berminat memasang PLTS atap.

Harga teknologi PLTS pun semakin turun dan terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu pemerintah menyatakan akan memperbaiki beberapa ketentuan dalam revisi Permen No.49/2018. Simak databoks berikut:

Misalnya mengubah tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1, memperpanjang periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan dari tiga bulan menjadi enam bulan, mewajibkan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi, memperluas perizinan pemasangan PLTS atap kepada pelanggan di wilayah usaha non-PLN, perizinan yang lebih singkat, serta membangun pusat pengaduan sistem PLTS atap.

Menurut IESR ketentuan tarif net-metering 1:1 dari semula 1:0,65 akan meningkatkan keekonomian PLTS. Dari studi pasar yang dilakukan IESR, minat masyarakat menggunakan PLTS atap terbilang tinggi, dan mereka mengharapkan kebijakan yang mempermudah perizinan dan proses instalasi serta keekonomian yang memadai.

Dengan tarif net metering 1:1, maka waktu pengembalian investasi PLTS Atap pun dapat dipangkas dari 10 tahun menjadi kurang dari 8 tahun. Ketentuan ini akan mempengaruhi pemasukan (revenue) PLN tapi tidak signifikan dibandingkan dengan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dari berkembangnya PLTS atap.

Simulasi IESR menunjukkan bahwa bila terdapat total instalasi 1 GWp PLTS atap, pemasukan PLN hanya akan berkurang 0,58% dengan tarif net-metering 1:1, dan 0,52% dengan tarif 1:0,65.

Dengan bertambahnya PLTS atap, PLN tidak perlu berinvestasi lebih besar untuk pembangkit energi terbarukan baru guna mengejar target RUEN dan mengurangi beban operasional pembangkit listrik tenaga gas untuk suplai di siang hari-sehingga mengurangi biaya bahan bakar.

Penggunaan listrik dari PLTS atap di pelanggan industri juga akan mengurangi beban subsidi pemerintah. Saat ini, PLN mengeluarkan biaya pokok pembangkitan Rp 1.028/kWh. Sementara tarif industri yang disubsidi sebesar Rp 972/kWh.

"Penggunaan PLTS atap di industri akan mensubstitusi permintaan listrik dari PLN sehingga beban untuk mensubsidi pelanggan industri juga berkurang,” kata Fabby.

Target pembangunan PLTS atap oleh pemerintah dapat dilihat pada databoks berikut:

Meski belum disahkan, Fabby mengapresiasi perbaikan tersebut dan memandangnya sebagai angin segar untuk mendorong berkembangnya pasar dan pengembangan industri PLTS di dalam negeri.

Pasalnya, selama ini industri PLTS dalam negeri tidak berkembang karena pasarnya masih kecil, sekitar 20-30 MW per tahun. Sehingga masih bergantung pada impor.

"Jika Indonesia mampu mencapai 1-5 GW per tahun maka akan mampu menarik investasi di rantai pasok komponen PLTS, artinya ada industri baru yang menyerap tenaga kerja,” tandas Fabby.

Instalasi kumulatif 1 GWp PLTS atap dapat menyerap tenaga kerja langsung 20.000 - 30.000 orang per tahun serta menurunkan emisi GRK hingga 1,05 juta ton per tahun. Pengembangan PLTS atap ini akan berguna bagi pemerintah Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca Covid-19.

Pada tahun 2021 ini pula, masa garansi paket Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) untuk tahun program 2018 akan habis. Program pra-elektrifikasi ini menjadi bagian perhitungan rasio elektrifikasi nasional, sehingga pemerintah perlu segera melanjutkan upaya penyediaan akses energinya, misalnya dengan penggunaan PLTS atap dengan minimum kapasitas 0,5 kWp sampai 1 kWp yang bisa digunakan untuk kegiatan produktif masyarakat.

“Kajian USAID untuk Kementerian ESDM juga menemukan dampak ekonomi yang besar mencapai US$ 18 juta dalam setiap instalasi 2.000 PLTS atap untuk kapasitas rata-rata 4,5-5 kWp. Secara nasional, hal ini akan menggerakkan kembali kondisi perekonomian lesu," katanya.

Kementerian ESDM kabarnya juga telah mengusulkan PLTS atap menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan target 3.6 GW pada 2025. Dengan demikian, revisi Permen No.49/2018 sangat menentukan untuk mendukung pencapaian target tersebut.

Reporter: Verda Nano Setiawan