Wacana Holding PLTU, Antara Energi Murah dan Komitmen Penurunan Emisi

ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Sejumlah petugas PLN melakukan pemeliharaan periodik atau "overhaul" mesin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, NTB, Rabu (13/11/2019).
30/7/2021, 15.06 WIB

Pemerintah disebut berencana membentuk holding pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun rencana ini menuai kritik, karena bertentangan dengan komitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembangkit listrik berbahan bakar batu bara itu.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pembentukan holding PLTU tak sejalan dengan komitmen menuju ke transisi energi bersih. Mengingat pembentukan holding pada ujungnya bertujuan meningkatkan kapasitas pembiayaan.

"Baik dari penerbitan utang baru maupun pelepasan saham negara atau IPO (initial public offering/penawaran saham perdana)," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (30/7).

Menurut dia cara-cara tersebut semakin mengukuhkan bahwa komitmen pengurangan emisi karbon hanya retorika di atas kertas. Jika pemerintah serius, maka bukan PLTU yang didorong namun pengurangan pembangkit batu bara dengan rencana tahunan yang jelas.

Di samping itu, belum tentu minat investor global membiayai PLTU akan naik pasca pembentukan holding. Apalagi manajer investasi global terus menekan perusahaan untuk mematuhi ESG (Environment, Social and Governance) sebagai standar yang tidak bisa ditawar lagi.

"Indonesia bentuk holding PLTU, maka menjadi citra buruk secara global dan daya tarik investasi Indonesia justru menurun di mata negara maju," ujarnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai kebijakan pemerintah antara satu dengan yang lain tak sinkron. Pada umumnya holding dibentuk untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang tergabung dalam holding tersebut.

Sementara di sisi lain pemerintah akan mengurangi peran PLTU secara bertahap. Hal ini mencerminkan pemerintah sedang berada dalam persimpangan. "Akan fokus pada transisi energi atau fokus pada penyediaan energi murah?," katanya.

Menurut Komaidi jika pemerintah masih mengacu pada batu bara sebagai energi murah dan penerimaan negara, maka pengembangan energi terbarukan di Indonesia akan relatif lambat.

Sebelumnya, Serikat Pekerja PT PLN, Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB) membocorkan rencana pemerintah untuk membentuk holding PLTU.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Pekerja PLN Bintoro Suryo Sudibyo mengatakan bahwa rencana ini masih pada tahap pengumpulan data. "Sekarang dalam kajian di PLN. Ini perlu kami mitigasi dari awal. SP PLN berikan masukan yang baik," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (27/7).

Bintoro menyebut rencana holdingisasi pembangkit listrik batu bara saat ini tengah menjadi isu yang cukup panas di kantor pusat. Menurut dia dalam penyediaan energi di PLN, seharusnya semua saling bersinergi bukan justru saling mencaplok.

Apalagi Kementerian BUMN juga berencana untuk melakukan privatisasi dengan cara IPO kepada usaha-usaha ketenagalistrikan yang saat ini masih dimiliki PLN dan anak usahanya. Dengan kondisi tersebut, ia berharap agar rencana-rencana tersebut tidak menambah beban keuangan PLN.

Oleh karena itu serikat pekerja PLN Grup menolak rencana pembentukan holding PLTU milik PLN, Indonesia Power, dan PJB, sama halnya dengan rencana pembentukan holding panas bumi, di mana Pertamina Geothermal Energy akan didapuk menjadi perusahaan induk.

Hingga berita ini ditayangkan, Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury tak merespons pesan Katadata.co.id saat dimintai konfirmasi terkait rencana pembentukan holding PLTU. Begitu juga dengan Wakil Direktur PLN, Darmawan Prasodjo.

Cadangan Batu Bara Melimpah

Posisi pemerintah sendiri sepertinya masih belum akan meninggalkan batu bara, yang merupakan bahan bakar PLTU, sebagai sumber energi. Apalagi cadangan batu bara Indonesia disinyalir masih mencapai 38 miliar ton.

Dengan tingkat produksi tahunan sekitar 600 juta ton, cadangan tersebut bisa bertahan hingga 65 tahun, dengan asumsi tidak terjadi peningkatan produksi dan penemuan cadangan baru

"Batu bara kita masih banyak. Kita punya 65 tahun umur cadangan. Mau tidak mau masih menjadi andalan Indonesia dalam penyediaan energi dengan harga terjangkau," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin.

Menurut dia Kalimantan saat ini menyimpan 62,1% dari total potensi cadangan dan sumber daya batu bara terbesar di Indonesia, yaitu 88,31 miliar ton sumber daya dan cadangan 25,84 miliar ton. Selanjutnya, wilayah yang memiliki potensi tinggi adalah Sumatera dengan 55,08 miliar ton (sumber daya) dan 12,96 miliar ton (cadangan).

Simak databoks berikut:

Meski masih menjadi andalan untuk penyediaan energi, pemerintah tengah mencari terobosan dan teknologi baru untuk menurunkan tingkat emisi dari konsumsi batu bara. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca atau karbon dari sektor energi.

Hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan batu bara di Indonesia. Salah satunya yaitu teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS). "Kami selalu berusaha menggunakan teknologi batu bara dengan cara yang lebih bersih," kata Ridwan.

Ridwan mengakui dari total 1.262 giga ton emisi CO2 yang dihasilkan di Indonesia, 35% berasal dari pembangkit listrik batu bara. Adapun dua tantangan yang saat ini tengah dihadapi dalam industri ini, yaitu penguasaan teknologi dan menciptakan skala keekonomian.

Teknologi CCUS diyakini akan mengurangi emisi CO2 akibat pembakaran batubara. "Berdasarkan studi PLN dan World Bank tahun 2015, CCUS secara teknis layak untuk dikembangkan di Indonesia,"kata dia.

Reporter: Verda Nano Setiawan