Potensi Tambahan Pendapatan PLN dari Proyek PLTS Atap Capai Rp 1,5 T

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021).
27/8/2021, 13.50 WIB

Kementerian ESDM menargetkan penambahan kapasitas terpasang PLTS atap pada 2025 dapat mencapai 3,6 gigawatt (GW). Dari kapasitas tersebut potensi penerimaan PLN dari penjualan nilai ekonomi karbon dan tarif layanan khusus energi baru terbarukan (EBT) mencapai Rp 1,54 triliun per tahun.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menjelaskan kapasitas PLTS atap terpasang sebesar 3,6 GW dapat mengurangi total emisi karbon sebesar 1,99 juta ton CO2. Dari total emisi tersebut potensi penerimaan dari perdagangan karbon dapat mencapai Rp 140 miliar per tahun.

Sementara penjualan sertifikat EBT atau Renewable Energy Certificate (REC) PLN berpotensi menambah pendapatan sebesar Rp 19 miliar per tahun. Sehingga jika di total, potensi pendapatan dari nilai ekonomi karbon ditambah dengan layanan tarif khusus PLN untuk energi terbarukan mencapai Rp 1,12 triliun hingga Rp 1,54 triliun.

"Itu adalah potensi-potensi dari keberadaan PLTS Atap. Tentu saja penerimaan makin besar kalau sekiranya kapasitas terpasang PLTS Atapnya makin besar," kata& Rida dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (27/8).

Sehingga, meski di satu sisi pendapatan PLN akan tergerus dengan hadirnya PLTS atap ini, tapi di sisi lain ada potensi pendapatan lain yang akan muncul. Salah satunya yakni melalui mekanisme perdagangan karbon.

Menurut Rida dengan asumsi kapasitas PLTS atap sebesar 3,6 GW pada tahun 2025, maka diperkirakan pendapatan PLN turun kurang lebih Rp 4,93 triliun per tahun. Meski demikian, pemanfaatan PLTS atap juga akan berpengaruh pada biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang akan turun.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan target kapasitas 3,6 GW akan diatur secara bertahap. Sehingga PLN dapat mempersiapkan dari sisi penyediaan listrik.

Menurut Dadan dampak lain dari pengembangan PLTS atap sebesar 3,6 GW yaitu turunnya pemakaian batu bara sebagai bahan bakar PLTU hingga 3 juta ton per tahun. Ini akan mengurangi emisi karbon atau gas rumah kaca hingga 4,58 juta ton.

Sementara dari sisi ekonomi, pengembangan PLTS atap 3,6 GW berpotensi menyerap tenaga kerja sebesar 121.500 orang. Kemudian mendatangkan potensi investasi baru Rp 45 triliun hingga Rp 63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04 triliun hingga Rp 4,08 triliun untuk pengadaan KWh Exim (ekspor-impor).

Penambahan PLTS atap sebesar 3,6 GW juga berpotensi menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebesar Rp 12,61/kWh, yang berpotensi mengurangi subsidi sebesar Rp 900 miliar dan kompensasi Rp 2,7 triliun.

Saat ini pemerintah juga tengah menggodok revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang mengatur mengenai PLTS atap. Salah satu revisi tersebut yaitu mengenai tarif ekspor-impor listrik PLTS atap kepada PLN.

Dalam revisi ini, seluruh produksi listrik yang bisa diekspor dari PLTS atap bisa 100% memotong tagihan listrik pelanggan. Hal ini untuk mendorong minat masyarakat untuk memasang PLTS atap. Dadan memastikan revisi aturan ini tidak akan membebani PLN. Karena tidak seluruh produksi dari PLTS atap nantinya akan diekspor.

“Dalam survei kami, kalau untuk rumah tangga listriknya itu hanya 24% masuk ke PLN. Sehingga kalau produksinya 100 kWh maka hanya 24 kWh yang masuk ke PLN. Ini yang dimaksud prinsip 1:1,” katanya.

Adapun dalam aturan yang berlaku saat ini, pengurangan tagihan listrik pelanggan maksimal hanya 65% dari total daya yang diekspor dari PLTS atap, sedangkan 35% dianggap sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik di infrastruktur PLN. Ketentuan ini mempertimbangkan biaya distribusi dan pembangkit PLN 2/3 dari tarif listrik.

Reporter: Verda Nano Setiawan