Upaya pemerintah menggenjot pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dinilai masih belum cukup. Pasalnya, hingga 10 tahun ke depan porsi pembangkit listrik energi fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara, masih cukup besar.
Peneliti Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mempertanyakan klaim pemerintah yang menyatakan RUPTL 2021-2030 paling hijau dengan adanya rencana penambahan kapasitas PLTU sebesar 13,8 gigawatt (GW). Tambahan tersebut yakni PLTU mulut tambang 3,3 GW dan PLTU non-mulut tambang 10,5 GW.
Dia berpendapat dengan rencana tersebut, Indonesia harus berhadapan dengan emisi karbon selama lebih dari 30 tahun ke depan. "Keputusan pemerintah untuk bangun PLTU baru ini akan dirasakan dampaknya pada 2050," ujarnya dalam diskusi Menggugat Keberadaan Batu Bara dalam RUPTL "Hijau" 2021-2030, Selasa (19/10).
Selain itu, penambahan PLTU baru juga tidak sejalan dengan rekomendasi global. PBB telah menyerukan kepada pemerintah negara untuk menghentikan PLTU batu bara baru setelah 2020.
IPCC juga merekomendasikan untuk mencapai target 1,5 derajat celcius maka negara-negara harus melakukan penutupan 80% PLTU eksisting pada 2030. Kemudian negara-negara juga harus melakukan phase out atau mempensiunkan PLTU pada 2040.
"Jadi ini sangat bertentangan di saat kita mau nambah PLTU baru, ternyata yang dianjurkan ke kita phase out atau mengurangi," ujarnya. Simak rencana bauran energi Indonesia hingga 2050 pada databoks berikut:
Meski begitu, dia tetap mengapresiasi upaya PLN yang memperbesar porsi bauran EBT. Pasalnya porsi pembangkit energi baru terbarukan dalam RUPTL ini mencapai 51,6% atau 20,9 GW. Namun rencana ini juga mempunyai tantangan tersendiri.
"Kalau melihat perkembangan sepanjang 2015-2020, kapasitas pembangkit EBT hanya bertambah 2 GW. Sedangkan untuk mencapai 23% kita butuh 10,6 GW," katanya.
Researcher Trend Asia, Andri Prasetiyo mengatakan dokumen RUPTL 2021-2030 diklaim sebagai RUPTL hijau namun pemrintah nyatanya masih tetap berencana untuk membangun pembangkit tenaga listrik yang bersumber dari energi fosil dengan kapasitas yang signifikan.
Secara spesifik, mengacu pada porsi pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil. PLTU batu bara menduduki porsi yang paling besar yakni 70% atau 13,8 GW.
Pemerintah sendiri bahkan masih memberikan penugasan untuk mempercepat dan memaksakan menuntaskan pembangkit FTP 1, FTP 2. dan program 35 GW yang didominasi PLTU. Di samping itu, pembangkit yang statusnya masih Power Purchase Agreement (PPA) dalam RUPTL masih masuk dan memiliki target COD.
Sehingga menurutnya ada inkonsistensi kebijakan, terlebih pasca pernyataan komitmen net zero, Presiden Joko Widodo sempat menyatakan akan membatalkan proyek yang belum financial close. "Pada kenyataannya Presiden masih menjaga kebijakan dimana pembangkit PPA masih dipertahankan," katanya.
Adapun jika hingga 2029 akan ada tambahan kapasitas PLTU baru sebesar 13,8 GW. Maka menurutnya akan ada penambahan 86,9 juta ton emisi tiap tahunnya atau setara dengan total emsisi karbon tiap tahun dari Nigeria.