Masih Ada PLTU Baru Dalam RUPTL, Komitmen Iklim RI Dinilai Mundur

ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Suasana pembangunan PLTU Unit 2 Cirebon Power di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (30/10/2019).
19/10/2021, 16.07 WIB

Upaya pemerintah menggenjot pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dinilai masih belum cukup. Pasalnya, hingga 10 tahun ke depan porsi pembangkit listrik energi fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara, masih cukup besar.

Peneliti Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mempertanyakan klaim pemerintah yang menyatakan RUPTL 2021-2030 paling hijau dengan adanya rencana penambahan kapasitas PLTU sebesar 13,8 gigawatt (GW). Tambahan tersebut yakni PLTU mulut tambang 3,3 GW dan PLTU non-mulut tambang 10,5 GW.

Dia berpendapat dengan rencana tersebut, Indonesia harus berhadapan dengan emisi karbon selama lebih dari 30 tahun ke depan. "Keputusan pemerintah untuk bangun PLTU baru ini akan dirasakan dampaknya pada 2050," ujarnya dalam diskusi Menggugat Keberadaan Batu Bara dalam RUPTL "Hijau" 2021-2030, Selasa (19/10).

Selain itu, penambahan PLTU baru juga tidak sejalan dengan rekomendasi global. PBB telah menyerukan kepada pemerintah negara untuk menghentikan PLTU batu bara baru setelah 2020.

IPCC juga merekomendasikan untuk mencapai target 1,5 derajat celcius maka negara-negara harus melakukan penutupan 80% PLTU eksisting pada 2030. Kemudian negara-negara juga harus melakukan phase out atau mempensiunkan PLTU pada 2040.

"Jadi ini sangat bertentangan di saat kita mau nambah PLTU baru, ternyata yang dianjurkan ke kita phase out atau mengurangi," ujarnya. Simak rencana bauran energi Indonesia hingga 2050 pada databoks berikut:

Meski begitu, dia tetap mengapresiasi upaya PLN yang memperbesar porsi bauran EBT. Pasalnya porsi pembangkit energi baru terbarukan dalam RUPTL ini mencapai 51,6% atau 20,9 GW. Namun rencana ini juga mempunyai tantangan tersendiri.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan