Program co-firing biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada prinsipnya dinilai dapat menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca. Namun implementasinya dinilai sulit tanpa ada kesepakatan harga biomassa.
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butar Butar, menilai harga biomassa menjadi sorotan utama program ini. "Apakah memungkinkan PLN membeli biomassa dengan harga yang ekonomis atau sebaliknya. Kalau tidak bisa, berarti supply biomassa tidak akan ada," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (1/11).
Isu berikutnya yaitu terkait sumber biomassa. Paul menyarankan agar sumber biomassa berasal dari limbah pertanian atau sampah kota. Sehingga program co-firing tidak mendorong terjadinya deforestasi atau penurunan luas hutan.
Adapun setiap penggunaan campuran biomassa sekitar 5%, setidaknya akan menurunkan emisi GRK sebesar 5%. Hal ini lantaran biomassa dianggap netral karbon. "Sehingga setiap emisi CO2 dari pembakaran biomassa dianggap netral, karena pada saat hidupnya biomassa sudah menyerap CO2," katanya.
Namun banyak pihak berpandangan, terutama lembaga internasional, bahwa co-firing sebenarnya dianggap mendorong perpanjangan usia PLTU batu bara. Itu makanya banyak lembaga internasional yang kurang mendukung program co-firing.
Jika PLN mendorong program ini secara penuh, dikhawatirkan akan mengurangi kesempatan untuk membangun pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). "Sekalian saja PLTU batu bara digantikan dengan PLTU biomassa, terutama untuk PLTU batu bara dengan kapasitas kecil, misalnya di daerah timur Indonesia," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan program co-firing diambil sebagai solusi untuk menurunkan emisi. Namun prakteknya tetap menggunakan PLTU yang masih masih punya nilai ekonomis.
Fabby menilai program co-firing ini seperti solusi mengulur waktu dalam menekan emisi karbon. Sembari PLN mencari cara untuk meningkatkan pasokan listrik dari pembangkit EBT, menyesuaikan dengan rencana dekarbonisasi/net-zero emission.
Meski begitu, tantangannya adalah ketersediaan feedstock dengan harga yang terjangkau bagi PLN sesuai dengan rencana co-firing PLN di berbagai PLTU. Pasalnya, biomassa jenis wood chip dan wood pellet merupakan komoditas ekspor sehingga harganya ditentukan oleh pasar.
"Untuk limbah sampah kota murah dan tidak ekspor. Tapi untuk yang biomassa bersaing dengan pasar ekspor. Kebijakan DMO seperti batu bara sulit diterapkan karena limbah, kayu dan lain-lain itu bukan milik negara," ujarnya.
Demikian juga limbah tandan kosong kelapa sawit yang juga diekspor sebagai biomassa feedstock. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan betul harganya karena tidak bisa menerapkan kebijakan DMO seperti batu bara.
"Regulasi ini yang perlu diatur pemerintah jadi tidak semena-mena diatur oleh PLN. Selain itu seiring dengan perkembangan teknologi pembangkit ET lainnya, perlu ada batasan mengenai program co-firing," ujarnya.
Ini berarti jika pemerintah ingin menjalankan program ini dengan mulus, maka feedstock biomassa untuk co-firing PLTU bisa dari sampah kota, limbah pertanian dan kayu.
Kementerian ESDM saat ini tengah merampungkan Rancangan Peraturan Menteri (Permen) terkait program co-firing biomassa pada PLTU. Program ini menjadi salah satu cara untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23% pada 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana sebelumnya mengatakan rancangan proses penyusunan rancangan permen terkait program co-firing telah rampung. Namun masih ada kendala terkait penetapan harga biomassa yang masih perlu dikaji lebih lanjut.
"Sudah selesai, tinggal satu aspek saja dari sisi harga yang belum bisa diputuskan. Karena dari penjual tinggi dan dari sisi yang beli ingin harganya lebih rendah. Ini bagaimana kita bisa menyatukan," ujar Dadan beberapa waktu lalu.
PLN sangat terbuka terhadap program ini. Bahkan sudah ada 29 PLTU yang siap mengimplementasikannya, termasuk persentase campurannya. "Sekarang dimana ini barangnya. Ini sudah kami hitung ada. Tapi bicara lebih detail, bicara logistik adalah bicara harga," kata Dadan.
Dia pun berharap agar Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) dapat memberikan patokan harga tetap untuk pasokan biomassa. Sehingga pemerintah dapat memfasilitasinya dalam bentuk Permen untuk mempercepat pengembangan EBT.