Upaya pemerintah saat ini dalam melakukan transisi energi di Indonesia dinilai tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi porsi energi baru terbarukan (EBT) terhadap bauran energi nasional masih di sekitar 11,2%.
Menteri Pertambangan dan Energi periode 1978-1988, Subroto mengatakan transisi energi di Indonesia masih memerlukan waktu. Sehingga transformasi dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan butuh usaha keras.
"Butuh waktu dan usaha yang bukan main. Jadi di dalam hal ini perlu kita sadari bahwa pindah fossil fuel ke EBT salah satu masalah yang tidak gampang," ujarnya dalam Energy Corner, Senin (27/12).
Dia menyadari Indonesia sendiri telah mempunyai komitmen target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun, perlu disadari guna merealisasikan target itu perlu komitmen political will dari pemerintah.
Apalagi banyak lembaga keuangan yang sudah mulai mengarah pada pembiayaan energi hijau, namun tujuannya masih belum sama. Karena itu, perlu adanya diskusi dari lembaga keuangan tersebut untuk menyatukan kemauan usaha bersama pemerintah dalam mengejar target bauran energi terbarukan.
"Tapi barangkali tidak perlu kita sangsikan komitmen itu sudah jelas sekali, pelaksanaannya tidak seperti balik telapak tangan butuh effort," katanya.
Selain itu, dia juga berpendapat ketergantungan RI terhadap sektor minyak dan gas bumi (migas) masih akan tetap tinggi hingga 2050. Sehingga transisi energi RI tak bisa disamakan dengan luar negeri yang dapat bebas konsumsi minyak pada 2050. "Kita masih butuhkan minyak khususnya gas untuk pemenuhan energi," katanya.
Dia pun mendorong agar target 1 juta barel minyak yang telah dicanangkan pemerintah dapat terealisasi pada 2030 mendatang. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat menciptakan iklim investasi yang menarik bagi investor.
"Perlu disadari bahwa investor masukan uang di Indonesia butuh kepastian salah satu hal yang harus usahakan sebaiknya adalah perundang-undangan untuk migas yang sampai sekarang belum diperbaharui," katanya.