Pengembangan Hidrogen di Indonesia Terkendala Investasi dan Regulasi

Toyota.com
Ilustrasi mobil sel bahan bakar hidrogen buatan Toyota, Mirai.
10/1/2023, 18.32 WIB

Pemanfaatan hidrogen dan amonia menjadi salah satu rencana pemerintah untuk mencapai target net zero emission (NZE) 2060. Keduanya dinilai bisa menjadi sumber energi bersih untuk menggantikan bahan bakar fosil.

Melansir dokumen Peta Jalan Menuju Emisi Nol Bersih pada Sektor Energi di Indonesia yang diterbitkan oleh Internasional Energy Agency (IEA) pada Oktober 2022, daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik hidrogen ditargetkan mencapai 220 terawatt-jam pada 2060.

Angka itu hampir menyentuh total permintaan saat ini di semua sektor. Meski begitu, dokumen itu belum menjelaskan secara detail perihal sektor mana saja yang bakal memanfaatkan hidrogen hijau.

Laporan tersebut menuliskan, pengembangan sumber energi hidrogen akan secara bertahap berjalan seiring menurunnya peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang mencapai puncaknya pada 2030. Namun semua itu dirasa akan tetap sulit tanpa adanya dukungan kebijakan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa diperlukan pendanaan investasi sebesar US$ 800 juta atau Rp 12,46 triliun untuk megejar target kapasitas produksi hidrogen hijau sebesar 328 megawatt (MW) pada awal 2030.

Nilai investasi diprediksi akan makin besar seiring peningkatan produksi hidrogen hijau dari tahun ke tahun. Menurut IESR, kapasitas produksi hidrogen hijau di Indonesia akan mencapai 52 gigawatt (GW) pada 2060 dengan total investasi mencapai US$ 25 miliar.

Tingginya biaya produksi hidrogen hijau disebabkan oleh tingginya biaya proses elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari air (H2O). IESR mencatat, biaya produksi hidrogen hijau di Indonesia diperkirakan sekitar US$ 3- US$ 12 per kilogram (kg), tergantung pada teknologi yang digunakan dan lokasi proyek.

Biaya produksi hidrogen hijau diharapkan turun menjadi sekitar US$ 2 per kg seiring dengan persaingan harga dari produksi hidrogen dari bahan bakar fosil dengan teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) atau biasa disebut hidrogen biru.

Potensi pemanfaatan hidrogen hijau yang punya sifat fleksibel dan serba guna dipandang sebagai daya tarik para investor. Hidrogen hijau bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sektor energi, kimia, hingga metalurgi.

"Namun, ini membutuhkan kebijakan untuk membantu menurunkan biaya produksi energi terbarukan sebagai syarat utama penyumbang biaya produksi hidrogen hijau," tulis laporan tersebut.

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, mengatakan bahan bakar hidrogen dan amonia dapat digunakan sebagai bahan bakar kapal, kereta api, truk berat, dan bus.

Selain dimanfaatkan sebagai sumber energi kendaraan, hidrogen dan amonia juga bisa dijadikan sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik.

Feby mengatakan, pengembangan hidrogen dan amonia di dalam negeri masih belum optimal karena minimnya infrastruktur dan tingkat harga yang belum ekonomis. Selain itu, Feby mengatakan, sejauh ini pemerintah belum mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur pengembangan hidrogen dan amonia.

Menurut Feby, produksi hidrogen di seluruh Indonesia saat ini berkisar antara US$ 5 sampai US$ 10 per kilogram (kg). Harga ini dinilai kurang bersaing dan jauh lebih tinggi dari biaya produksi bahan bakar konvensional lain yang berada di kisaran US$ 4 per kg.

"Kurangnya pembangunan infrastruktur hidrogen dan juga tingginya biaya produksi hidrogen dari energi lainnya Dan ketika kita melihat harganya saat ini tidak bisa bersaing dengan bahan bakar lain," kata Feby di Paviliun Indonesia COP27 Mesir akhir tahun lalu.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu