Transisi energi dinilai tak dapat dilakukan tanpa adanya teknologi baru yang menurunkan biaya dari energi baru terbarukan atau EBT. Hal tersebut diutarakan oleh CEO BlackRock Larry Fink di forum Berlin Global Dialogue.
BlackRock adalah perusahaan manajemen investasi global yang mengelola aset lebih dari US$ 9,42 triliun dolar atau lebih dari Rp 146 kuadriliun per 30 Juni 2023.
“Kita tidak akan bisa melakukan transisi kecuali kita dapat menemukan teknologi yang dapat menurunkan biaya energi terbarukan secara kompetitif. Kita tidak bisa melakukan itu,” kata Fink seperti dikutip dari Bloomberg pada Senin (2/10).
Fink menambahkan bahwa BlackRock telah melakukan survei yang menunjukkan bahwa 57% investor global mereka berencana untuk berinvestasi lebih banyak pada teknologi dekarbonisasi.
“Kami melihat apa yang terjadi dengan kenaikan harga energi hanya dalam dua tahun terakhir di Jerman dan Eropa. Anda tidak dapat melakukan transisi,” ujarnya. Dia berpendapat, ketika harga energi naik, negara-negara berkembang akan menggunakan lebih banyak batu bara karena kehidupan saat ini lebih penting dari masa depan.
“Kita perlu memikirkan kembali keuangan, sehingga dapat menemukan cara untuk menyalurkan miliaran bahkan triliunan dolar ke negara-negara berkembang untuk membantu mereka dekarbonisasi,” kata Fink.
Terkait ketidakmampuan negara-negara berkembang mengelola kerawanan energi, Fink mengatakan BlackRock dan perusahaan-perusahaan keuangan lainnya tampaknya setuju.
“Pada akhir 2022, ketika terjadi krisis energi di Eropa, masalah keamanan energi di Eropa semakin mendorong kemiskinan energi di negara-negara berkembang,” kata analis energi Credit Suisse, Saul Kavonic.
Ini karena negara-negara Eropa dan negara-negara lain mampu membayar mahal untuk energi, sedangkan negara-negara berkembang tidak bisa melakukannya, dan beberapa negara sudah memilih pemadaman listrik secara rutin karena mereka tidak mampu membayar harga energi saat ini.
“Dan jika mereka mampu membeli suatu bentuk energi, maka itu adalah energi dengan biaya paling rendah, seperti batu bara, meskipun mereka mempunyai ambisi ramah lingkungan,” kata Kavonic.
Sebagai CEO Larry Fink mengawasi aset senilai US$ 10 triliun untuk BlackRock, manajemen aset terbesar di dunia. Namun BlackRock diejek oleh beberapa orang pada akhir tahun lalu karena menyerukan perusahaan untuk berinvestasi lebih banyak pada lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG.