Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy (PGE), Julfi Hadi, meminta pemerintah untuk memberikan insentif dalam pengembangan hidrogen hijau.  Insentif tersebut mulai dari keringanan pajak, subsidi harga hidrogen hijau, dan pendanaan proyek hidrogen hijau.

Julfi mengatakan, keringanan pajak tersebut khususnya Pajak Penghasilan (PPh) badan, pajak impor untuk fasilitas hidrogen hijau, dan derivativenya.

Selain insentif, Julfi mengatakan, pengembangan hidrogen hijau juga membutuhkan dukungan regulasi dari pemerintah.

"Dukungan regulasi berupa aturan ekspor hidrogen, standar produksi dan transportasi hidrogen hijau, serta skema penyaluran listrik melalui transmisi nasional (power wheeling)," ujar Julfi dalam  agenda DETalk bertema "Status and Trends of the Hydrogen Economy Indonesia's Perspective and Experiences" yang digelar secara daring, Selasa (2/4).

PGE Kembangkan Hidrogen Hijau

Julfi mengatakan, PGE berpotensi memproduksi hidrogen hijau berkapasitas besar, yaitu sekitar 302 ton hidrogen per hari. Sebagian hidrogen hijau tersebut berpotensi diekspor.

Direktur Utama PGE, Julfi Hadi, mengatakan PGE saat ini mulai mengembangkan hidrogen hijau. Hidrogen hijau tersebut diproduksi dari sejumlah pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal yang dimiliki PGE.

Menurut Julfi, anak perusahaan Pertamina tersebut akan mengembangkan hidrogen hijau dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu prove technical feasibility atau uji kelayakan teknis, kedua yaitu dengan mengembangkannya sehingga mencapai kelayakan komersial.

"Saat ini kami baru mencapai prove technical feasibility," kata dia.

Julfi mengatakan, tahap uji kelayakan teknis bertujuan untuk mengetes kelayakan ekonomi dan pasar dari potensi hidrogen hijau dan membangun kapasitas untuk mengembangkannya di masa depan. Tahap ini membutuhkan riset dan pengembangan tipe investasi. 

"Demonstrasi proyek ini membutuhkan kurang dari tiga tahun," ujarnya.

Dia mengatakan, dibutuhkan kaspitas hingga 30 MegaWatt (MW) untuk membuat proyek green hydrogen plant menjadi layak. 

Hidrogen di Indonesia

Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini hidrogen telah digunakan di Indonesia pada sektor industri, terutama sebagai bahan baku pupuk. Konsumsi hidrogen di Indonesia saat ini sekitar 1,75juta ton per tahun, dengan penggunaan yang didominasi oleh urea (88%), amonia (4%), dan kilang minyak (2%).

"Sebagian besar penggunaan hidrogen di industri saat ini berasal dari gas alam," ujar Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (kementerian ESDM), Chrisnawan Anditya.

Dia mengatakan, cadangan gas alam di Indonesia terbukti mencapai 41,62 TCF yang digunakan untuk produksi hidrogen biru. Selain itu, Indonesia memiliki potensi 3.686 GW pembangkit energi baru terbarukan di Indonesia yang bisa memasok hidrogen hijau. 

Sementara itu, penggunaan mobil hidrogen sudah diterapkan di seluruh dunia. Cina menjadi pasar mobil listrik hidrogen atau fuel cell electric vehicle (FCEV) terbesar di dunia pada 2023.

Hal ini tercatat dalam laporan SNE Research, lembaga riset energi terbarukan asal Korea Selatan.  Cina merupakan pangsa pasar mobil hidrogen terbesar di dunia.

Menurut SNE Research, sepanjang 2023 volume penjualan FCEV di Cina mencapai 5,6 ribu unit, setara 38,8% dari total penjualan global.

Pasar terbesar berikutnya adalah Korea Selatan, Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, dengan angka penjualan seperti terlihat pada grafik.

Secara kumulatif, total volume penjualan FCEV global pada 2023 mencapai 14,45 ribu unit. Capaian ini turun 30% dibanding 2022 (year-on-year).

"Alasan utama penurunan tersebut adalah anjloknya penjualan FCEV di Korea Selatan, yang sebelumnya merupakan pangsa pasar FCEV nomor satu pada 2022," kata tim SNE Research dalam siaran persnya (15/2/2024).

"Karena meningkatnya biaya pengisian hidrogen, adanya insiden kerusakan, dan kurangnya infrastruktur pengisian hidrogen, FCEV kehilangan daya tarik di pasar kendaraan ramah lingkungan," kata mereka.

Namun, SNE Research memproyeksikan penjualan FCEV bisa menguat lagi pada 2024, seiring dengan adanya pembangunan infrastruktur pengisian hidrogen di Ciina, serta peluncuran model FCEV baru dari sejumlah pabrikan besar seperti Toyota, Honda, dan Hyundai.