Permintaan hidrogen hijau di Indonesia diperkirakan terus naik hingga 2060. Tiga sektor yang mendominasi permintaan hidrogen di Indonesia adalah ketenagalistrikan, transportasi, dan industri.

Sejak akhir 2023, Pertamina dan PLN mulai memproduksi hidrogen hijau. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi permintaan hidrogen akan mencapai  6.282 TWh pada 2060. Sementara menurut Pertamina NRE, permintaannya akan mencapai 469 terawatt jam (TWh) pada 2050. 

 Co Director Program Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), Bagus Mudiantoro, mengatakan Indonesia berpotensi menjadi eksportir hidrogen karena bakal mengalami surplus komoditas tersebut sekitar empat juta ton pada 2060.

Namun, Bagus mengatakan Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam melakukan ekspor hidrogen.

“Tantangan terbesarnya adalah biaya modal rata-rata tertimbang atau weighted average cost of capital (WACC) yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain,” ujar Bagus dalam diskusi yang diikuti di Jakarta, Rabu (30/10).

Tantangan lain yang dihadapi adalah meningkatnya permintaan energi domestik seiring pertumbuhan ekonomi, serta keterbatasan lahan, khususnya untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang diperlukan dalam produksi hidrogen.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dokumen Strategi Hidrogen Nasional yang mencakup kondisi saat ini, arah dan tujuan pengembangan hidrogen di Indonesia.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga saat ini tengah menyusun Peta Jalan Hidrogen dan Amonia Nasional, Penyusunan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Hidrogen, dan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 dengan penambahan pasal-pasal yang terkait dengan pembelian listrik dari energi baru untuk mengakomodasi pembelian listrik dari pembangkit listrik tenaga hidrogen.

Reporter: Djati Waluyo