Teknologi Tangkap Karbon Mahal, PLN Pilih Ultra Supercritical di PLTU

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (17/10/2019).
3/6/2021, 14.31 WIB

Senada, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menilai penggunaan CCS pada PLTU saat ini belum ekonomis. Bahkan belum banyak negara-negara di dunia ini yang menggunakan fasilitas CCS pada PLTU nya.

Di Amerika Serikat (AS) misalnya, teknologi CCS pada PLTU membutuhkan biaya sekitar US$ 60 per ton CO2, dan sekitar US$ 90 per ton CO2 untuk pembangkit gas. Ada juga studi yang memperkirakan biayanya mencapai US$ 90-100 per ton. "Intinya teknologi CCS akan membuat biaya pembangkitan listrik lebih tinggi," kata Fabby.

Oleh sebab itu, ia menyarankan agar PLN lebih fokus pada pembangkit energi terbarukan + baterai. Pembangkit ini dinilai akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangkit thermal dengan CCS.

Seperti diketahui, pemerintah berencana untuk menyetop pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru setelah 2025. Langkah ini dinilai akan berdampak signifikan pada upaya mencapai dekarbonisasi di 2050 dengan mengurangi konsumsi batu bara yang menjadi bahan bakar PLTU.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana sebelumnya menjelaskan penghentian proyek PLTU baru akan membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mencapai target dekarbonisasi pada 2050.

"Apabila PLTU tidak disetop, akan sulit untuk EBT masuk, dan juga ini tidak sejalan dengan arah net zero carbon," kata dia.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan