BI Pilih Pelonggaran Kuantitatif, DPR Dorong Cetak Uang, Apa Bedanya?

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
Ilustrasi. Bank Indonesia tidak sepakat dengan DPR untuk mencetak uang berlebih di tengah pandemi corona. Bank sentral lebih memilih menerapkan pelonggaran kuantitatif atau quantitative easing.
Penulis: Sorta Tobing
18/5/2020, 15.02 WIB

Persoalan cetak-mencetak uang membuat hubungan Bank Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) panas-dingin. Bank sentral menolak usulan itu. Sementara, anggota dewan berpendapat langkah ini diperlukan untuk mengatasi krisis akibat pandemi corona.

Gubernur BI Perry Warjiyo sempat mengatakan mandat utama bank sentral adalah mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Peredaran uang berlebih dapat memicu inflasi. Karena itu, mekanisme pengedaran uang kartal tetap harus memperhatikan inflasi dan sesuai Undang-Undang Mata Uang.

Bank sentral selama ini mencetak uang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hitungannya mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Perry mencotohkan, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia 5% dan inflasinya 3%, maka kenaikan pencetakan uangnya sekitar 8%.

Tidak ada proses pencetakan uang di luar mekanisme tersebut, bahkan ketika Indonesia menghadapi krisis. "Jika ingin menambah cadangan kira-kira naik 10% dengan keseluruhan proses tetap sesuai tata kelola dan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," ucap dia saat konferensi video, Rabu (6/5).

(Baca: Risiko BUMN Gencar Mencari Utang Valas di Masa Pandemi Covid-19)

Di masa pandemi, BI memilih melakukan quantitative easing atau pelonggaran kuantitatif. Selama Januari hingga April 2020, bank sentral telah menggelontorkan Rp 503,8 triliun untuk menambah likuiditas perbankan. Salah satu caranya, dengan menurunkan giro wajib minimum atau GWM.

Sementara, Badan Anggaran DPR mengusulkan agar BI mencetak uang Rp 600 triliun. Alasannya, cetak uang lebih menguntungkan ketimbang menambah utang. Apalagi, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun ini diperkirakan akan melebar di atas 5%.

Ketua Badan Anggaran dari Fraksi PDI Perjuangan MH Said Abdullah memperkirakan inflasi hanya akan berada di level 5% sampai 6% jika rencana itu dilakukan. “BI mencetak uang dengan jumlah Rp 400 triliun sampai Rp 600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah,” ucapnya.

(Baca: Besok, Pemerintah Tarik Utang Lewat Lelang SUN Maksimal Rp 40 Triliun)

Gubernur BI Perry Warjiyo tak setuju dengan usulan DPR untuk mencetak uang lebih banyak.  (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Pro dan Kontra Kebijakan Cetak Uang Berlebih

Kebijakan bank sentral mencetak uang menjadi topik hangat ekonomi makro di tengah pandemi Covid-19. Para ekonom menyebut langkah itu sejalan dengan modern monetary theory (MMT) atau teori moneter modern.

Dalam MMT, mengutip dari Investor.id, penekanannya adalah kekuatan sistem pembayaran untuk membangun perekonomian. Tapi pandangan para ekonom tradisional melihatnya sebagai langkah yang tidak bertanggung jawab karena utang dan inflasi akan meroket. Sementara, quantitative easing adalah kebijakan moneter untuk mencegah penurunan suplai uang.

Federal Reserve alias The Fed mengambil kebijakan MMT untuk mengantisipasi perekonomian negaranya yang melambat. Bank sentral Amerika Serikat itu membantu para pengusaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dengan mencetak uang berlebih. Langkah ini menjadi cara proteksi sosial agar perusahaan tidak memberhentikan pekerjanya.

(Baca: Bukan Masalah Regulasi, Mengapa BI Tak Cetak Uang Lebih Seperti Fed?)

Ekonom Senior sekaligus Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan kebijakan ini tak bisa serta-merta dilakukan oleh BI. “Kalau AS cetak dolar lebih banyak, yang pakai itu seluruh dunia. Jadi penggunanya tak hanya di AS, permintaannya tinggi,” katanya.

Kalau mencetak rupiah dalam jumlah berlebih hal serupa tak terjadi, malah dapat memicu inflasi tinggi. Jumlah uang yang tersedia akan lebih besar sehingga meningkatkan permintaan, tapi dari sisi produksi belum berjalan baik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menjelaskan alasan BI tak melakukan kebijakan cetak uang berlebih seperti bank sentral lainnya. "BI mission-nya beda, kalau The Fed salah satu misinya mengurangi pengangguran," ujarnya.

Perry pun berpandangan praktik MMT tidak akan dilakukan BI. "Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim," katanya.

(Baca: BI Lakukan Quantitative Easing, Total Suntikan Dana ke Bank Rp 503,8 T)

Wakil Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengakui kebijakan cetak uang tidak populer. Namun, kondisi krisis saat ini sangat mendesak dan pinjaman dari luar negeri sangat terbatas. “Pelaku usaha tidak ada dana sama sekali. Pemerintah dari mana dananya? Bisa pinjam atau cetak uang,” katanya pada Jumat lalu.

Kadin memperkirakan total dana yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak Covid-19 mencapai Rp 1.600 triliun. Rinciannya Rp 400 triliun untuk kesehatan, Rp 600 triliun bantuan masyarakat, dan Rp 600 triliun mendorong ekonomi.

Mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga mengusulkan BI untuk melakukan cetak uang dalam jumlah besar. Nilainya adalah Rp 4.000 triliun. Uang itu tidak hanya menjadi stimulus masyarakat yang kehilangan pendapatan, tapi juga untuk restrukturisasi penyelematan sektor riil dan UMKM.

(Baca: BI Tak Akan Jor-joran Cetak Uang untuk Dana Penanganan Covid-19)

Apa Beda Cetak Uang dan Quantitative Easing?

Perry sempat menjelaskan beda antara cetak uang dengan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) dalam rapat virtual dengan Komisi XI DPR. “Kalau mencetakan uang, bank sentral menambah uang yang beredar. Tapi tidak mampu menyerap kalau kelebihan likuiditas,” ucapnya.

Kejadian mencetak uang dalam jumlah berlebih sempat terjadi ketika krisis moneter 1997-1998, melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Bank sentral ketika itu mencetak uang untuk membeli surat utang pemerintah (SUP).

Ketika inflasi naik, bank sentral tidak bisa menggunakan SUP untuk menyerap likuiditas.  “SUP-nya tidak tradable (bisa diperdagangkan). Suku bunganya mendekat 0%. Inflasi kemudian naik 67%,” ucapnya.

Belajar dari pengalaman itu, BI sekarang memilih menerapkan pelonggaran kuantitatif. Langkah ini termasuk menurunkan giro wajib minimum (GWM) dan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. “Ini adalah operasi moneter dalam mengelola likuiditas di perbankan supaya cukup. Kalau sekarang kurang, kami tambah,” kata Perry.

(Baca: BPK Temukan Masalah dalam Pengelolaan Utang Pemerintah)

Reporter: Agatha Olivia Victoria, Tri Kurnia Yunianto