Pemerintah memutuskan tetap menjalankan kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN per 1 April 2022. Sebelumnya, melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2021, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11%.
Kenaikan tarif PPN ini diberlakukan untuk menaikkan tingkat penerimaan pajak. Hal ini diperlukan agar pemerintah mampu mencapai target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 4,8%.
Definisi PPN
Secara umum, PPN merupakan pungutan yang disematkan dalam proses produksi dan distribusi barang dan jasa. Pemungutannya kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat kita berbelanja di supermarket atau membeli barang di pusat perbelanjaan atau mall.
Secara spesifik, PPN didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas seluruh konsumsi barang atau jasa kena pajak yang bersifat umum (general tax on consumption). Pungutan ini menyasar barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP), serta dibebankan kepada wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah mendapatkan status Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Mengutip www.kemenkeu.go.id, BKP sendiri dimaknai sebagai barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang (UU) PPN.
Cakupan BKP dalam UU PPN ini bersifat “negative list”, dalam artian pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP. Kecuali ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN oleh pemerintah.
Dasar Hukum PPN
PPN diperkenalkan dalam sistem perpajakan Indonesia pada 1983. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah atau lebih dikenal dengan UU PPN. Namun, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1984 (Perppu), pemerintah memutuskan untuk menangguhkan pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983 menjadi selambat-lambatnya 1 Januari 1986.
Penangguhan dilakukan karena pemerintah melihat belum siapnya berbagai pihak untuk melaksanakan UU PPN seketika. Ketidaksiapan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara.
Sebelum menggunakan sistem PPN, Indonesia telah menggunakan tiga jenis pajak atau pungutan terhadap konsumsi. Tiga pajak tersebut adalah, Pajak Pembangunan I, Pajak Peredaran 1950, dan Pajak Penjualan (PPn).
Dalam perjalanannya, UU PPN telah mengalami empat kali perubahan. Pertama, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 yang berlaku mulai 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan melalui pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku pada 1 Januari 2001.
Kemudian, perubahan ketiga atas UU PPN dilakukan melalui UU Nomor 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku pada 1 April 2010. Perubahan terakhir dilakukan melalui pengesahan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Objek PPN
PPN dikenakan pada lima objek, yaitu BKP dan JKP di dalam daerah pabean, yang dilakukan pengusaha. Daerah pabean yang dimaksud adalah, seluruh wilayah Republik Indonesia. Kedua, PPN dibebankan untuk impor BKP.
Ketiga, PPN dikenakan pada pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Yang dimaksud dengan BKP tidak berwujud antara lain, hak paten, merk dagang, dan hak cipta. Pengenaan PPN juga diberikan untuk pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Terakhir, PPN dikenakan pada ekspor BKP berwujud atau tidak berwujud, serta dan ekspor JKP oleh PKP.
Karakteristik PPN
Sebagai pungutan atas konsumsi barang dan jasa di Indonesia, PPN memiliki enam karakteristik, antara lain.
1. Pajak Atas Konsumsi
Sebagai pungutan atas konsumsi, PPN dibebankan kepada konsumen yang membeli BKP dan/atau memanfaatkan JKP. Artinya, yang bertanggung jawab untuk membayarnya adalah konsumen akhir.
2. Pajak Tidak Langsung
PPN merupakan bentuk pajak tidak langsung. Artinya, pihak yang diwajibkan untuk membayar adalah konsumen akhir atas pemanfaatan BKP dan JKP. Namun, pihak yang bertugas untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah perusahaan yang sebelumnya telah dikukuhkan menjadi PKP.
Inilah yang dimaksud sebagai sifat pajak tidak langsung, karena pihak yang melakukan pembayaran dan penyetoran berbeda.
3. Bersifat Objektif
PPN memiliki sifat objektif, di mana tidak memandang subjek pajaknya. Berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) misalnya, yang memiliki tarif berbeda, tergantung dari penghasilan wajib pajak. Tarif yang tertera dalam PPN menyasar semua kalangan.
4. Memiliki Tarif Tunggal
PPN menggunakan besaran tarif tunggal. Ini berbeda dibandingkan PPh, yang memiliki perhitungan progresif, di mana setiap penghasilan memiliki besaran tarif sendiri.
5. Pajak Atas Konsumsi BKP dan/atau JKP di Dalam Negeri
Karakteristik PPN berikutnya adalah pengenaannya yang hanya berlaku di dalam daerah paben atau di wilayah Indonesia. Artinya, PPN hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan JKP di dalam negeri seperti misalnya transaksi impor.
Selain itu, pungutan PPN juga diterapkan pada pemanfaatan BKP dan JKP tidak berwujud di luar daerah pabean yang dimanfaatkan di dalam negeri.
6. Multi Stage Levy
Berbeda dengan PPh yang bersifat progresif, PPN memiliki ciri-ciri sebagai pajak yang bersifat multi stage levy. Artinya, pungutan dikenakan pada setiap tahap jalur produksi dan distribusi. Ini mulai dari pabrik, pedagang besar, grosir, hingga pedagang kecil.
Meski dikenakan pada setiap mata rantai produksi dan distribusi, pajak ini tidak akan menimbulkan efek pajak berganda. Karena, mekanismenya menganut pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan.
Tarif PPN
Seperti disebutkan sebelumnya, PPN menggunakan tarif tunggal. Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009, tarif PPN ditetapkan sebagai berikut.
- Tarif PPN adalah 10%.
- Tarif PPN sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud dan ekspor JKP
- Tarif PPN dapat berubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi sebesar 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP).
Tarif PPN kemudian berubah menjadi 11% melalui pengesahan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan tarif ini akan berlaku per 1 April 2022. Perubahan tarif ini selanjutnya akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP)
Berdasarkan UU 7/2021, tarif PPN ke depan akan dinaikkan menjadi 12%, yang mulai diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025. Sementara, rentang maksimal pemungutan berdasarkan UU PPN adalah sebesar 15%. Rentang tarif PPN yang tertera dalam UU 7/2021 ini tetap mengadopsi aturan yang tercantum dalam UU 42/2009.
Adapun, untuk ekspor BKP berwujud dan tidak berwujud, serta ekspor JKP juga tidak mengalami perubahan, yakni tetap 0%. Ini tertera pada Pasal 7 Ayat (2) UU 7/2021.