Pemerintah akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 11% mulai 1 April, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut langkah tersebut diperlukan untuk memperkuat fondasi perpajakan.
Seperti diketahui, PPN merupakan pungutan yang dikenakan atas seluruh konsumsi barang atau jasa kena pajak yang bersifat umum (general tax on consumption). Pungutan ini menyasar barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP), serta dibebankan kepada wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah mendapatkan status Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Salah satu karakteristik PPN adalah pajak yang bersifat multi stage levy. Artinya, pungutan dikenakan pada setiap tahap jalur produksi dan distribusi. Ini mulai dari pabrik, pedagang besar, grosir, hingga pedagang kecil. Meski dikenakan pada setiap mata rantai produksi dan distribusi, pajak ini tidak akan menimbulkan efek pajak berganda. Karena, mekanismenya menganut pengkreditan pajak masukan dan pajak keluaran.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran dalam PPN ini? Berikut penjelasannya.
Pajak Masukan dalam PPN
Pajak masukan atau dikenal juga sebagai PPN masukan, merupakan pungutan yang dikenakan pada pengusaha kena pajak (PKP) ketika membeli barang kena pajak (BKP) atau ketika memanfaatkan jasa kena pajak (JKP).
Secara spesifik, pajak masukan adalah PPN yang harus dibayar PKP untuk pemanfaatan sebagai berikut:
- Perolehan BKP dan/atau JKP
- Pemanfataan BKP/JKP tidak berwujud dari luar daerah pabean
- Impor BKP/JKP yang telah dipungut PKP pada saat pembelian dalam masa pajak tertentu.
Dalam penerapannya, PKP mengkreditkan pajak masukan dan pajak keluaran dalam satu masa pajak. Apabila dalam masa pajak yang dimaksud pajak keluaran lebih besar, maka kelebihan tersebut harus disetorkan ke kas negara.
Sebaliknya, apabila pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, maka kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak selanjutnya. Dalam tata cara ini, jumlah yang dibayarkan PKP bisa berubah sesuai pajak masukan yang dibayar.
Seperti yang telah disebutkan, PKP harus mengkreditkan pajak masukan dan pajak keluaran dalam satu masa pajak yang sama. Ini diperlukan agar PKP mengetahui apakah dalam satu masa pajak kelebihan membayar PPN atau tidak.
Meski demikian, ada beberapa hal yang menyebabkan pajak masukan tidak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran. Berdasarkan Pasal 9 Ayat (8) UU Nomor 7 tahun 2021, pajak masukan tidak dapat dikreditkan untuk beberapa hal berikut:
- Perolehan BKP atau pemanfaatan JKP yang tidak ada hubungan langsung dengan kegiatan usaha PKP.
- Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan terkait pajak karbon. Ketentuan yang dimaksud ini adalah ketentuan ada pada Pasal 13 Ayat (5) atau Ayat (9), antara lain:
- Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
- Dalam hal harga karbon lebih rendah dari Rp 30 per kilogram (kg) karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30 per Kg CO2e atau satuan yang setara. - Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan yang tertera dalam Pasal 13 Ayat (6). Ketentuan tersebut menyebutkan, bahwa pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Agar pajak masukan dapat dikreditkan dalam satu masa pajak yang sama, ada syarat yang harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh bidang usaha. Syarat-syarat yang dimaksud antara lain:
- Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang diperlakukan sama dengan faktur pajak.
- Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Ini artinya pengeluaran PKP yang bukan untuk hal-hal di luar operasional usaha.
Sementara, untuk batas waktu pengkreditan pajak masukan sebagaimana diatur dalam UU PPN adalah tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan.
Ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (9) UU Nomor 7 tahun 2021, yang secara spesifik menyebutkan:
"Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini".
Penetapan waktu tiga bulan setelah masa pajak ini dilakukan dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan faktur. Misalnya, faktur pajak yang dibuat terlambat dikirimkan oleh PKP penjual ke PKP pembeli, sehingga PKP pembeli belum bisa melakukan pengkreditan pajak masukan.
Pajak Keluaran dalam PPN
Dalam PPN, pajak keluaran merupakan pajak terutang yang wajib dipungut PKP saat menyerahkan BKP, JKP, ekspor BKP berwujud dan tidak berwujud, serta ekspor JKP. Singkatnya, pajak keluaran merupakan PPN yang harus dibayarkan kepada otoritas pajak oleh PKP atas penyerahan barang atau jasa.
Kemudian, sebagai bukti PKP telah memungut PPN, maka diharuskan menerbitkan faktur pajak. Dalam faktur pajak tersebut tertera besaran PPN yang harus dibayar oleh pihak pembeli kepada PKP penjual. PPN yang tercantum dalam faktur pajak inilah yang menjadi pajak keluaran bagi PKP yang melakukan penyerahan barang atau jasa.
Terkait faktur pajak yang telah diterbitkan, PKP wajib melaporkannya ke otoritas pajak, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pelaporannya dilakukan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai masa pajak terjadinya transaksi atau disebut SPT Masa PPN.
Umumnya, PKP telah memahami kewajiban pungutan PPN saat menyerahkan BKP dan/atau JKP di dalam kegiatan pokok usahanya. Namun, terkadang ada temuan atau sengketa antara otoritas pajak dan PKP terkait penyerahan atas transaksi di luar kegiatan usaha.
Dalam aturan perpajakan, terdapat ketentuan yang mengatur penyerahan tertentu yang dikenakan PPN. Aturan ini tertera dalam Pasal 16C dan 16D UU PPN.
Dalam Pasal 16C, disebutkan bahwa PPN tetap dikenakan atas kegiatan membangun sendiri, meski dilakukan tidak dalam kegiatan usaha. PPN juga tetap dipungut terhadap pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri.
Aturan turunan untuk Pasal 16C UU PPN ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri. Pungutan PPN tetap dijalankan meski bangunan yang didirikan tidak digunakan untuk kegiatan usaha, karena menjadi barang yang akan mengalami pertambahan nilai.
Secara perinci, objek yang diatur dalam regulasi ini dibagi menjadi dua, yakni yang membangun dengan kontraktor dan yang membangun benar-benar mandiri. Jika dengan menggunakan kontraktor, maka pemungutan PPN merupakan kewajiban kontraktor, dengan catatan kontraktor tersebut merupakan PKP. Jika kontraktor yang digunakan bukan PKP, maka wajib pajak yang menggunakan jasanya berkewajiban melakukan penyetoran dan pelaporan PPN.
Ketentuan lain yang mengatur terkait transaksi penyerahan di luar kegiatan usaha adalah, Pasal 16D UU PPN. Aturan ini memuat perincian terkait penjualan barang yang dari awal tidak untuk diperjualbelikan. Pungutan PPN terjadi jika PKP mengalami likuidasi, pembubaran atau pencairan aset, yang kemudian menuntut PKP yang dimaksud menjual aset yang dimilikinya.