Mencermati Perlakuan Perpajakan untuk Profesi Buzzer

Reuters
Ilustrasi, Twitter.
Penulis: Agung Jatmiko
26/7/2022, 10.44 WIB

Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul berbagai macam profesi baru. Tak hanya selebgram dan YouTuber, kini muncul istilah profesi baru, yakni buzzer.

Kemunculan profesi ini, memang merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi komunikasi di Indonesia. Kemajuan teknologi komunikasi yang berkembang, telah menjadikan media sosial sebagai salah satu media yang memegang peranan penting dalam menyampaikan pesan.

Beberapa orang menggunakan momentum ini sebagai ajang untuk mencari keuntungan finansial, salah satunya dengan bekerja menjadi buzzer.

Buzzer dinilai memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk suatu topik pembicaraan di media sosial, sehingga tidak sedikit pihak yang memberdayakan mereka untuk mencapai tujuan.

Definisi Buzzer

Buzzer sendiri dalam Bahasa Indonesia memiliki arti "pendengung". Profesi ini, dapat diartikan sebagai seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki identitas tidak jelas, atau tidak diketahui asalnya, yang berusaha menyebarkan atau mendengungkan informasi yang tidak mudah untuk diverifikasi kebenarannya dengan motif ideologis maupun motif ekonomi.

Seorang buzzer bekerja dengan cara menggiring opini tentang suatu hal tertentu, dengan menggunakan media sosial, yang bertujuan untuk membentuk citra positif atas pribadi seseorang atau suatu produk/hal tertentu.

Pada awalnya, buzzer mulai dikenal sebagai sebagai seorang individu atau akun yang memiliki kemampuan mengamplifikasi pesan. Ini dilakukan dengan menarik perhatian, atau membangun percakapan pengguna media sosial dengan motif tertentu.

Istilah buzzer sendiri muncul pada 2009, untuk kepentingan promosi suatu perusahaan. Saat itu, memang menjadi periode di mana media sosial Twitter hadir pertama kali di Indonesia. Tahun itu juga menjadi masa di mana Indonesia mengalami "ledakan" pengguna media sosial.

Awalnya, konsep buzzer masih berada dalam konotasi positif, yakni sebagai seseorang atau akun yang membantu perusahaan dalam strategi pemasaran. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul istilah buzzer politik, yang digunakan oleh tokoh atau kandidat politik tertentu untuk memenangkan kontestasi politik.

Perlakuan Perpajakan untuk Buzzer

Secara sederhana, cara kerja buzzer adalah menawarkan jasa mereka untuk digunakan sesuai dengan perjanjian kerjasama antara pihak peminta jasa. Untuk dapat menggunakan jasa buzzer, pihak pengguna jasa dikenakan tarif tertentu yang harus dibayarkan kepada buzzer.

Karena ada unsur kerja sama, yang dilakukan antara pihak yang memberi penghasilan dan pihak yang menerima penghasilan, maka timbul aspek perpajakan atas profesi buzzer. Dalam hal ini, profesi buzzer dapat dikenakan pajak penghasilan (PPh), maupun pajak penambahan nilai (PPN).

1. PPh atas Profesi Buzzer

Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, atau UU PPh, setiap tambahan penghasilan yang diterima oleh wajib pajak yang bisa digunakan untuk menambah kekayaan edngan nama dan dalam bentuk apapun, masuk ke dalam objek PPh.

Oleh karena itu, apabila seseorang buzzer mendapatkan penghasilan atas jasa yang ditawarkan kepada pihak lain, akan dikenakan PPh atas upah yang diterimanya. Sehingga, wajib menjalankan kewajiban perpajakannya sebagai wajib pajak.

Terkait pengenaan PPh pada profesi buzzer, dapat dilihat dari dua pihak. Pertama, pihak pengguna jasa atau pihak pemberi penghasilan. Kedua, kewajiban PPh untuk buzzer itu sendiri.

  • Kewajiban Perpajakan Pengguna Jasa Buzzer

Bagi pihak yang menggunakan jasa, buzzer dinilai sebagai seseorang yang masuk klasifikasi "Bukan Pegawai". Klasifikasi ini mencakup seseorang yang masuk ke dalam kelompok pemberi jasa dalam segala bidang.

Bidang yang dimaksud, meliputi teknik komputer serta sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial, serta termasuk juga dalam pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.

Bagi pengguna jasa buzzer yang merupakan badan atau orang pribadi dengan menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan perpajakan, maka pengguna jasa buzzer wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 kepada pihak penerima penghasilan, yaitu buzzer.

Mengutip pajakku.com, dasar pengenaan pajak (DPP) yang diterapkan adalah kumulatif penghasilan kena pajak, yang dihitung dari 50% dikalikan dengan penghasilan bruto. Selain itu, PPh Pasal 21 yang harus dipotong, dihitung dari tarif Pasal 17 UU PPh, dan dikalikan dengan DDP.

  • Kewajiban Perpajakan Buzzer

Sebagai pihak yang menerima penghasilan, buzzer memiliki kewajiban untuk menghitung, menghitung, dan melaporkan PPh yang terutang.

Dalam menghitungnya, sebagai orang pribadi yang menjalankan pekerjaan bebas, buzzer diharuskan membuat pembukuan yang sesuai dengan ketentuan perpajakan.

Namun, kewajiban ini dijalankan seorang buzzer apabila penghasilan bruto yang diterimanya mencapai Rp 4,8 miliar atau lebih dalam satu tahun.

Jika penghasilan bruto yang diterima kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun, maka buzzer diperbolehkan untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN).

Meski demikian, buzzer harus memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu tiga bulan pertama tahun pajak yang bersangkutan.

Selain itu, buzzer juga diharuskan memperhitungkan PPh yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain dengan PPh terutang. Hasil dari perhitungan yang dijabarkan itulah, yang harus dilaporkan oleh buzzer dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi, dengan menggunakan formulir 1770.

2. Aspek PPN pada Profesi Buzzer

PPN berlaku pada profesi buzzer, apabila buzzer yang dimaksud telah memiliki penghasilan bruto lebih dari Rp 4,8 miliar dalam satu periode pajak.

Apabila dalam tahun buku jumlah peredaran bruto yang dihasilkan lebih dari Rp 4,8 miliar, maka buzzer tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun, apabila peredaran bruto yang dihasilkan dalam satu tahun buku belum mencapai Rp 4,8 miliar, maka buzzer dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Sebagai PKP, buzzer memiliki kewajiban untuk memungut PPN. Buzzer juga diwajibkan untuk menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pungutan PPN bagi pihak yang menggunakan jasanya.