Memahami Fringe Benefit dan Perlakuan Perpajakannya di Indonesia

pixabay.com
Ilustrasi, sekelompok karyawan dalam suatu perusahaan. Untuk menarik minat talenta yang potensial, atau mempertahankan karyawan yang berprestasi, perusahaan kerap memberikan fasilitas atau kompensasi di luar gaji pokok, yang disebut fringe benefit.
Penulis: Agung Jatmiko
15/8/2022, 17.31 WIB

Dalam dunia kerja, gaji bukanlah menjadi satu-satunya yang diterima oleh seorang karyawan. Ada tambahan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawannya, di luar pemberian gaji. Kompensasi ini, dinamakan sebagai fringe benefit.

Beberapa jenis fringe benefit diberikan secara universal kepada seluruh karyawan. Namun, ada beberapa perusahaan yang memberikannya hanya kepada karyawan di level tertentu. Misalnya, hanya untuk tingkat eksekutif.

Beberapa bentuk fringe benefit, seperti tunjangan misalnya, diberikan sebagai bentuk kompensasi kepada karyawan atas biaya yang terkait dengan pekerjaan. Ada pula yang disesuaikan dengan kepuasan kerja secara umum.

Pengertian Fringe Benefit dan Tujuan Pemberiannya

Berdasarkan OECD Glossary, fringe benefit merupakan bentuk tunjangan dari perusahaan kepada karyawan, yang melengkapi atau di luar upah atau gaji normal.

Fringe benefit juga diartikan sebagai segala bentuk kompensasi non-tunai yang secara sukarela diberikan pemberi kerja kepada karyawannya. Bentuknya bisa beragam, seperti akomodasi gratis, tunjangan liburan, fasilitas kendaraan, opsi saham karyawan, dan sebagainya.

Dalam praktiknya, pemberian fringe benefit merupakan hal yang lazim dilakukan. Biasanya, fasilitas ini diberikan karena jabatan tertentu, atau sebagai reward atas kinerja.

Tujuan dari pemberian fringe benefit utamanya adalah, untuk merekrut calon karyawan yang memiliki potensi. Kemudian, dapat digunakan juga sebagai alat untuk mememotivasi karyawan.

Selain itu, fringe benefit juga diterapkan diberikan untuk mempertahankan orang-orang dengan kualitas tinggi di suatu perusahaan. Tanpa adanya kompensasi, maka talenta-talenta yang potensial dapat pindah ke perusahaan lain, yang menawarkan gaji atau tunjangan yang lebih tinggi.

Secara umum, fringe benefit yang diberikan meliputi asuransi kesehatan, asuransi jiwa, subsidi makan, bantuan biaya kuliah, penggantian biaya penitipan anak, diskon karyawan, opsi saham karyawan, pinjaman bunga rendah, dan penggunaan pribadi kendaraan milik perusahaan.

Umumnya, perusahaan yang bersaing untuk mendapatkan sumber daya manusia terbaik di bidang yang dibutuhkan sangat kompetitif, bersedia menawarkan fringe benefit yang luar biasa untuk menarik minat talenta ke perusahaan tersebut.

Perlakuan Perpajakan untuk Fringe Benefit

Mengutip online-pajak.com, secara umum fringe benefit dikenakan pajak, kecuali bentuk kompensasi atau fasilitas yang dikecualikan secara khusus. Pengenaan pajak atas fasilitas ini diwajibkan, karena termasuk fair market value dari tunjangan dalam penghasilan berpajak karyawan untuk periode tersebut.

Beberapa fringe benefit yang dikecualikan dari pengenaan pajak secara umum, antara lain:

  • Tunjangan kesehatan dan kecelakaan
  • Bantuan adopsi
  • Penghargaan prestasi
  • Tunjangan komuter
  • Fasilitas atletik
  • Bantuan perawatan tanggungan
  • Tunjangan de minimal
  • Diskon karyawan
  • Bantuan pendidikan
  • Perlindungan asuransi jiwa group-term
  • Ponsel yang disediakan
  • Opsi saham karyawan
  • Rekening tabungan kesehatan (Health Saving Account/HSA)
  • Makanan
  • Penginapan saat melakukan perjalanan dinas atau bisnis
  • Layanan perencanaan pensiun
  • Layanan tanpa biaya tambahan
  • Tunjangan kondisi kerja
  • Pengurangan biaya kuliah

Masing-masing jenis fringe benfit yang mendapat pengecualian ini, memiliki syarat dan ketentuannya. Tidak semua tunjangan tambahan yang bebas pajak penghasilan dibebaskan juga dari jaminan sosial, medicare, dan lainnya. Hanya dibebaskan dari pajak penghasilan saja.

Perlakuan Pajak untuk Fringe Benefit di Indonesia

Seperti telah dijelaskan, konsep fringe benefit secara umum merupakan tunjangan yang melengkapi atau di luar gaji pokok. Bisa dikatakan, tunjangan ini merupakan semua bentuk kompensasi non-tunai yang sukarela diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya dengan bentuk yang beragam.

Bagaimana dengan perlakuannbya di Indonesia? Dalam Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atau UU PPh, fringe benefit atau natura bukan merupakan objek penghasilan alias non-taxable income.

Ini tertuang dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf d UU PPh. Namun, apabila fringe benefit diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final, atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus, maka atas natura tersebut dikenakan pajak.

Dari sisi perusahaan, biaya yang dikeluarkan dalam bentuk fringe benefit juga tidak dapat menjadi biaya pengurang penghasilan bruto alias non-deductible expense. Ini diatur dalam dalam Pasal 9 Ayat (1) huruf e UU PPh.

Namun, melalui UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP, pemerintah memasukkan fringe benefit sebagai objek pajak.

Pengenaan pajak untuk fringe benefit ini, tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf a UU HPP, yang secara spesifik menyebutkan natura atau fringe benefit sebagai objek pajak. Pasal inilah yang menjadi dasar hukum pengenaan pajak atas natura.

Aturan tersebut berbunyi, "penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini".

Pertimbangan masuknya fringe benefit sebagai objek pajak, karena definisi penghasilan itu sendiri. UU PPh mengartikan penghasilan, sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak.

Tambahan penghasilan ini, bisa berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, dan dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Namun, tidak semua fringe benefit atau natura yang diberikan oleh perusahaan terkena pajak natura. Dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf d UU HPP, ada beberapa natura yang mendapat pengecualian, antara lain:

  1. Penyediaan makanan/minuman bagi seluruh pegawai.
  2. Fringe benefit di daerah tertentu.
  3. Fringe benefit yang diberikan karena keharusan pekerjaan, contohnya alat keselamatan kerja atau seragam.
  4. Fringe benfit yang diberikan dengan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  5. Fringe benefit dengan jenis dan batasan tertentu.