Memahami Perlakuan PPh Final Usaha dengan Peredaran Bruto Tertentu

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Ilustrasi, pengunjung melihat produk sambal di stan IKM Cacan Sambal pada acara Djakarta Fest 2022.
Penulis: Agung Jatmiko
29/8/2022, 18.01 WIB

Seperti diketahui, usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, merupakan salah satu sektor ekonomi strategis bagi Indonesia. Jenis usaha ini, merupakan salah satu pemain utama aktivitas ekonomi domestik. Termasuk di dalamnya dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Peran strategis UMKM dalam perekonomian Indonesia, dapat dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM, tahun lalu kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 50%.

Peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB, juga diikuti dengan bertambahnya jumlah UMKM. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan, jumlah pelaku UMKM pada 2019 telah mencapai 65,5 juta unit.

Perkembangan UMKM di Indonesia yang pesat menjadikan sektor ini sangat potensial bagi penerimaan perpajakan. Untuk mendukung perkembangannya, pemerintah memberi insentif melalui penerapan pajak penghasilan (PPh) bersifat final untuk UMKM dengan peredaran bruto tertentu.

Nah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan usaha peredaran bruto tertentu, serta seperti apa perlakuan PPh final untuk jenis usaha ini? Simak ulasan singkat berikut ini.

Definisi Usaha dengan Peredaran Bruto Tertentu

Secara umum, peredaran bruto diartikan sebagai penghasilan yang diterima dari kegiatan usaha, sebelum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan.

Sementara usaha dengan peredaran bruto tertentu, adalah usaha yang memiliki pendapatan atau penghasilan dalam batas tertentu, yang didapatkan oleh pelaku usaha, baik perorangan maupun badan usaha, sebelum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan.

Hal ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Berdasarkan PP Nomor 23 tahun 2018, besaran tarif PPh final yang ditetapkan untuk usaha dengan peredaran bruto tertentu adalah, 0,5%. Sementara, batasan peredaran bruto yang ditetapkan oleh pemerintah untuk PPh final ini, adalah Rp 4,8 miliar.

Pemberlakuan PPh final dengan tarif 0,5% ini, dilakukan untuk mendorong kegiatan perekonomian. Utamanya, agar kewajiban perpajakan yang ditanggung oleh UMKM lebih kecil.

Pengaturan PPh Final untuk Usaha dengan Peredaran Bruto Tertentu

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 23 tahun 2018, UMKM dapat menggunakan PPh final dengan tarif sebesar 0,5% atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh selama jangka waktu tertentu. Adapun dasar pengenaan pajak (DPP) atas penghasilan yang diterima ini, adalah peredaran bruto.

Namun, tidak semua penghasilan dari usaha dapat dikenakan PPh final. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) PP 23/2018, terdapat empat jenis penghasilan yang tidak dapat menggunakan PPh final PP 23/2018, yaitu:

  • Penghasilan wajib pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
  • Penghasilan di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri.
  • Penghasilan yang telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan perpajakan tersendiri.
  • Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

Patut diingat, bahwa tidak semua UMKM dapat menikmati PPh final dengan tarif 0,5%. Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) PP 23/2018, hanya UMKM dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak yang dapat memanfaatkan PPh final tersebut.

Kemudian, berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) PP 23/2018, terdapat empat kelompok wajib pajak yang tidak dapat memanfaatkan fasilitas ini.

  1. Wajib pajak memilih untuk dikenai tarif berdasarkan PPh Pasal 17.
  2. Wajib pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi dengan keahlian khusus dan menyerahkan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas tertentu.
  3. Wajib pajak badan yang memperoleh fasilitas PPh berdasarkan Pasal 31A UU PPh atau Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010.
  4. Bentuk usaha tetap (BUT).

Sementara, UMKM yang memenuhi kriteria dapat menggunakan PP 23/2018 dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) PP 23/2018, terdapa tiga ketentuan terkait jangka waktu pemanfaatan PPh final.

Pertama, bagi wajib pajak orang pribadi paling lama tujuh tahun. Kedua, bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma paling lama empat tahun. Ketiga, wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas paling lama tiga tahun.

Jangka waktu yang ditetapkan ini, berarti untuk setelahnya wajib pajak tidak dapat memanfaatkan fasilitas PPh final 0,5% ini. Melainkan, mengikuti tarif yang berlaku pada umumnya, meski peredaran bruto masih tidak melebihi Rp 4,8 miliar.

Adapun, jangka waktu tersebut terhitung sejak tahun pajak wajib pajak yang belum terdaftar sejak diberlakukannya PP 23/2018, atau tahun pajak 2018 bagi wajib pajak yang terdaftar sebelum berlakunya PP 23/2018.

Pengajuan PPh Final untuk Usaha atas Peredaran Bruto Tertentu

Untuk pengaturan teknisnya, pemerintah menerbitkan aturan turunan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.03/2018. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa wajib pajak yang ingin memanfaatkan fasilitas ini, wajib mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak paling lambat pada akhir tahun pajak.

Selanjutnya, Dirjen Pajak akan menerbitkan surat keterangan yang mengizinkan wajib pajak untuk menggunakan PPh berdasarkan PP 23/2018. Setelah mendapatkan izin, UMKM memiliki kewajiban untuk menyetor dan melaporkan PPh.

Adapun, PPh final yang terutang dapat dilunasi dengan cara disetor sendiri paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Selain itu, penyetorannya dapat dilakukan oleh lawan transaksi yang merupakan pemotong atau pemungut pajak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) dan (3) PMK 99/PMK.03/2018.

Kemudian, berdasarkan Pasal 4 Ayat (4) PMK 99/PMK.03/2018, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk melaporkan surat pemberitahuan masa PPh paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.