Sejarah Resesi Besar, Bencana Ekonomi Imbas Krisis Pasar Perumahan AS

Dok. Frontline, Spencer Platt/Getty Images
Resesi
Penulis: Agung Jatmiko
5/12/2023, 08.18 WIB

Bagi sebagian kalangan, terutama pelaku pasar keuangan di Amerika Serikat (AS), bulan Desember menyimpan kenangan pahit. Sebab, Desember 2007 menjadi awal mula terjadinya suatu krisis ekonomi yang belum pernah terjadi pasca Depresi Besar atau The Great Depression, yakni Resesi Besar atau The Great Recession.

Memang, banyak kalangan menyebut bencana ekonomi ini sebagai "Krisis Ekonomi 2008". Pasalnya, puncak dari resesi yang dipicu gelembung pasar perumahan AS ini, adalah pada 2008. Namun, semuanya dimulai dari Desember 2007, dengan tanda-tanda nya yang sudah terbaca sejak beberapa bulan sebelumnya.

Resesi Hebat menyebabkan kontraksi ekonomi global yang signifikan. Banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, dan resesi mempunyai dampak yang sangat parah terhadap negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.

Ilustrasi, Resesi Besar. (The Street)

Penyebab Terjadinya Resesi Besar

Mengutip Federal Reserve History, Resesi Besar yang dimulai pada Desember 2007 dan berakhir pada Juni 2009, menjadikannya resesi terpanjang sejak Perang Dunia II. Di luar durasinya, krisis ekonomi ternyata sangat parah dalam beberapa hal.

Produk domestik bruto (PDB) riil AS tercatat turun 4,3% dari puncaknya pada kuartal IV-2007, hingga titik terendahnya pada kuartal II-2009. Ini menjadi penurunan terbesar AS di era pasca perang,

Kemudian, tingkat pengangguran, yang sebesar 5% pada Desember 2007, meningkat menjadi 9,5% pada bulan Juni 2009, dan mencapai puncaknya menjadi 10% pada Oktober 2009.

Apa yang awalnya merupakan kisah klasik tentang keserakahan dan deregulasi, berakhir dengan krisis global yang menyebabkan 6 juta rumah tangga kehilangan rumah. Hasilnya, reformasi dan dana talangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

1. Akibat Praktik Penyaluran Kredit yang Tidak Bertanggung Jawab

Sebelum Resesi Besar melanda, bank dan pemberi pinjaman hipotek di AS, bertindak layaknya predator, dengan praktik pemberian pinjaman yang membabi-buta.

Beberapa tahun sebelum Resesi Besar, di AS hipotek atau kredit pemilikan rumah (KPR), tergolong mudah didapat. Standar yang ditetapkan bank untuk memastikan peminjam melunasi hipoteknya, tergolong rendah. Dengan semakin banyaknya orang yang mendapatkan akses terhadap daya beli, terjadi ledakan konstruksi, dan harga-harga meningkat secara signifikan.

Jenis hipotek baru ini, yang disebut subprime, ditawarkan kepada peminjam dengan catatan kredit yang buruk, pendapatan yang tidak mencukupi, dan nilai kredit yang kurang optimal. Hipotek ini biasanya menampilkan pembayaran uang muka yang rendah, atau bahkan tidak sama sekali.

Selain itu, bank juga menawarkan pembayaran bulanan awal yang rendah untuk menarik peminjam. Para peminjam biasanya tidak memahami fitur rumit dari pinjaman dan sifat suku bunga dari kredit rumah yang mereka ambil.

Sebagian besar subprime mortgage ini, selain memiliki fitur pembayaran besar dan standar penjaminan di bawah standar, juga merupakan hipotek dengan suku bunga yang dapat disesuaikan atau adjustable rate mortgages (ARMs).

Dari 2004 hingga 2006, Federal Reserve AS menaikkan suku bunga dana federal dari 1% menjadi 5,25%, dan suku bunga ARM dari subprime mortgage naik pada saat yang sama dengan meningkatnya pembayaran awal yang rendah. Lonjakan pembayaran bulanan yang tiba-tiba ini melampaui kemampuan banyak peminjam untuk membayar dan gelombang penyitaan pun dimulai.

2. Krisis Subprime Mortgage

Mengutip Forbes, selama booming pasar perumahan, banyak bank melakukan sekuritisasi subprime mortgage. Ini dilakukan dengan menggabungkan ratusan atau ribuan hipotek, dan menjualnya kepada investor sebagai sekuritas berbasis hipotek atau mortgage-backed securities (MBS). Ini merupakan bentuk obligasi, yang isinya terdiri dari pinjaman hipotek.

Setiap investor yang ingin memiliki investasi yang relatif aman dalam portofolionya, secara historis akan tertarik pada hipotek. Ini karena surat utang berbasis hipotek, adalah opsi investasi yang berisiko rendah dan imbalan rendah.

Bank, hedge funds, dana pensiun, dan investor terakreditasi tercatat rajin membeli MBS selama periode 2004-2006. Lembaga-lembaga keuangan ini tidak memahami, bahwa paradigma pemberian pinjaman baru telah berubah, dan banyak hipotek yang ada dalam MBS akan mengalami tingkat penyitaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ini ditambah dengan munculnya instrumen baru, yang disebut credit default swap (CDS). CEO Bonfire Financial Brian Colvert mengatakan, kombinasi penerbitan subprime mortgage yang berisiko, ditambah dengan kurangnya pengawasan peraturan, menyebabkan krisis keuangan yang terjadi setelahnya.

"Penggunaan instrumen keuangan yang kompleks seperti CDS, yang memungkinkan investor mengambil risiko dalam jumlah besar tanpa sepenuhnya memahami konsekuensi potensial, berkontribusi terhadap krisis ini," kata Culvert, dikutip dari Forbes.

3. Kemunculan Credit Default Swap (CDS)

Credit default swaps atau CDS, berfungsi layaknya polis asuransi bagi pemegang obligasi. Cara kerjanya, pemberi pinjaman membeli CDS dari investor yang setuju untuk membayar pemberi pinjaman, jika peminjam gagal memenuhi kewajibannya.

Karena CDS menciptakan eksposur sintetik, yang berarti issuer atau pihak yang mengeluarkan, tidak harus benar-benar memiliki obligasi fisik untuk menanggung risiko non-kinerja, maka secara teoritis hal ini dapat terjadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Ini pada akhirnya menghasilkan efek pengganda pada risiko kredit yang berstatus subprime, yang dimiliki oleh bank dan investor.

Ketika pemilik rumah mulai gagal membayar kredit pemilikan rumah mereka, pasar sekuritas berbasis KPR tersebut merosot, yang memicu kerugian besar bagi bank dan perusahaan investasi. Pada saat yang sama, perusahaan asuransi yang telah menjual CDS, pada akhirnya juga menanggung kerugian miliaran dolar AS.

4. Bank-bank Besar Mulai Berguguran, Pemerintah AS Ambil Kebijakan Bail Out

Rentetan kegagalan pembayaran hipotek, yang berujung pada gagalnya CDS, membuat beberapa lembaga keuangan besar tidak dapat bertahan dari goncangan pasar pada 2008.

Bank investasi Bear Stearns misalnya, akhirnya diakuisisi oleh JPMorgan Chase pada April 2008 dengan harga murah, hanya $10 per saham. Nominal ini sekitar 94% di bawah harga tertinggi yang pernah dicatatkan saham Bear Sterns dalam 52 minggu. Lalu, pada September 2008, Lehman Brothers, yang memiliki kapitalisasi pasar sebesar $60 miliar hanya 18 bulan sebelumnya, mengajukan kebangkrutan.

Pemerintah AS terpaksa turun tangan untuk mengeluarkan dana talangan yang agresif (bail out), untuk mencegah efek domino kegagalan pasar keuangan ke sektor lain.

Pada September 2008, perusahaan penyalur kredit rumah yang didukung pemerintah federal, Fannie Mae dan Freddie Mac, dinasionalisasi melalui UU Pemulihan Ekonomi tahun 2008, yang mengasuransikan hipotek senilai US$ 300 miliar.

Ilustrasi, Resesi Besar (Antara)

Sebulan kemudian, Kongres dan Presiden George W. Bush mengesahkan UU Stabilisasi Ekonomi Darurat tahun 2008, yang mencakup dana talangan pemerintah sebesar US$ 700 miliar, yang disalurkan melalui di bawah Program Bantuan Aset Bermasalah atau Troubled Asset Relief Program (TARP).

Perusahaan yang menerima dana talangan di bawah program TARP, antara lain perusahaan asuransi American International Group (AIG), perusahaan otomotif General Motors, serta bank-bank besar, seperti JPMorgan, Citigroup, Bank of America dan Wells Fargo.

Federal Reserve juga terpaksa mengambil langkah-langkah kebijakan moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya selama Resesi Hebat untuk menjaga sistem keuangan. Sejak September 2007 hingga Desember 2008, The Fed menerapkan 10 kali penurunan suku bunga. Sehingga suku bunga dana fed fund turun dari 5,25% menjadi nol.

The Fed juga menerapkan program pelonggaran kuantitatif pada November 2008, dengan mengumumkan pembelian US$ 100 miliar obligasi Fannie Mae dan Freddie Mac, serta US$ 500 miliar MBS yang didukung oleh Fannie Mae, Freddie Mac dan Ginnie Mae.

Berakhirnya Resesi Besar

Upaya mengatasi Resesi Besar terus berlanjut di bawah pemerintahan Presiden Barrack Obama. Pada Februari 2009, pemerintahan Obama mendorong Kongres mengesahkan UU Pemulihan dan Reinvestasi Amerika senilai $789 miliar, yang membantu mengakhiri resesi ekonomi.

Paket stimulus tersebut mencakup pemotongan pajak sebesar $212 miliar dan inisiatif infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan sebesar $311 miliar.

Tak lama setelah itu, Obama mengumumkan Homeowner Stability Initiative, yang merupakan program senilai US$ 75 miliar untuk membantu lebih dari 7 juta pemilik rumah di AS menghindari penyitaan.

Pada Maret 2009, Badan Pembiayaan Perumahan Federal atau the Federal Housing Finance Agency mengumumkan Program Pembiayaan Kembali Rumah Terjangkau (Home Affordable Refinance Program/HARP). Ini adalah program yang membantu pemilik rumah yang layak mendapatkan kredit membiayai kembali hipotek mereka (refinance), dan memanfaatkan suku bunga yang lebih rendah.

Di pasar keuangan, serangkaian kebijakan yang diambil pemerintah AS, sanggup memulihkan S&P 500. Indeks ini sempat mencapai titik terendah 2009 di level 666 pada 6 Maret 2009. Namun, pada 23 Maret, indeks naik lebih dari 20% dari posisi terendahnya.

Menyusul langkah-langkah stimulus pemerintah yang agresif, PDB AS pun meningkat 1,5% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal III-2009, yang secara resmi mengakhiri resesi.

Ilustrasi, Resesi Besar. (Federal Reserve History)

Pada Juli 2010, Kongres mengesahkan UU Reformasi Wall Street dan Perlindungan Konsumen, atau dikenal sebagai UU Dodd–Frank, mengacu pada pengusulnya, yakni Anggota Kongres Barney Frank, dan Senator Chris Dodd.

UU Dodd–Frank pada dasarnya adalah kumpulan peraturan perbankan baru, yang bertujuan untuk mencegah krisis keuangan lainnya. UU Dodd-Frank juga menjadi dasar pembentukan Biro Perlindungan Keuangan Konsumen atau Consumer Financial Protection Bureau, untuk mengawasi subprime mortgage, dan pasar kredit konsumen.

Asisten Profesor keuangan Texas A&M University-Kingsville Dr. William Procasky mengatakan, UU Dodd-Frank secara signifikan mengurangi risiko sistemik di sektor perbankan AS.

Melalui UU Dodd-Frank, bank-bank besar yang berpotensi menimbulkan ancaman terhadap sistem perbankan jika gagal, akan diuji oleh The Fed untuk memastikan mereka memiliki modal yang cukup untuk menghadapi kondisi buruk. Intinya, melalui UU ini, bank akan melalui pengujian kesehatan keuangan

"Selain itu, tidak ada lagi pasar untuk credit default swaps pada subprime mortgage, yang akhirnya menghilangkan efek pengganda penyebaran risiko,” kata Procasky.

Pada Maret 2013, S&P 500 telah sepenuhnya pulih dari Resesi Hebat dan mencatatkan rekor tertinggi baru pertamanya sejak 2007.