Anjlok 6,48% Sejak Awal Tahun, Begini Prediksi IHSG Hingga Akhir 2020

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
IHSG turun 6,87% sepanjang tahun ini hingga penutupan Jumat (14/2) di level 5.866,95. Lalu bagaimana arah IHSG hingga akhir 2020?
Penulis: Ihya Ulum Aldin
15/2/2020, 12.27 WIB

Kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) sepanjang tahun ini terus tertekan. Secara year to date (ytd),  indeks saham dalam negeri telah turun 6,87% ke level 5.866,95 pada penutupan perdagangan Jumat (14/2). Lalu, kemana arah indeks pasar modal tahun ini?

Banyak sentimen yang menyebabkan indeks pasar saham dalam negeri anjlok, seperti pemblokiran 800 rekening efek terkait pengusutan kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Tak hanya itu, penyebaran virus corona yang menyebabkan banyaknya korban jiwa.

Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menyampaikan, pihak otoritas Bursa yang sedang melakukan "beres-beres" pasar modal terkait dengan kasus yang melibatkan saham-saham gorengan. "Boleh dibilang, kita masih sedang beres-beres," katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (14/2).

Dia pun memperkirakan, bahwa dalam jangka pendek hingga memengah alias dalam 3-6 bulan ke depan, indeks masih berpeluang besar untuk terkoreksi. Dalam tempo waktu tersebut, berdasarkan analisisnya secara teknikal, indeks diramal bergerak di rentang antara 5.875 hingga 6.000.

(Baca: Bursa Minim Transaksi & Dana Asing Hengkang Rp 300 M, IHSG Turun 0,09%)

Dia mengatakan, level 5.875 merupakan titik support bawah pertama dengan potensi berada lebih bawah lagi di level 5.725. "Nah level 5.725 merupakan salah satu titik yang harus dijaga banget," katanya.

Berbeda, Analis Binaartha Sekuritas, M. Nafan Aji Gusta Utama memprediksi IHSG hingga akhir tahun ini masih berpotensi untuk naik ke level 6.395 - 6.675 didorong oleh sejumlah sentimen.

Sentimen positif yang bakal menopang indeks di antaranya omnibus law, serta kebijakan suku bunga acuan dari Bank Indonesia (BI). Selain itu dia menilai kinerja ekonomi negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia, akan menopang pemulihan ekonomi global. "Indonesia merupakan negara emerging market dalam kategori investment grade," kata Nafan.

Sementara, sentimen negatif yang masih menghantui pasar modal ke depannya seperti wabah virus corona yang bisa menyebabkan ekonomi Tiongkok melambat. Serta potensi perlambatan ekonomi di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat (AS) maupun kawasan Eropa.

(Baca: BEI Harap Pemblokiran 800 Rekening Efek Tak Tekan Perdagangan Saham)

Senior Portfolio Manager Equity Manulife Aset Manajemen Indonesia, Caroline Rusli mengatakan bahwa pasar modal di Asia lebih rentan terhadap dampak negatif dari penyebaran virus corona, dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Meski tingkat kerentanannya berbeda, tergantung dari seberapa besar eksposur ekonominya terhadap Tiongkok.

Sentimen negatif virus corona terhadap Indonesia berpotensi meningkat jika Tiongkok menurunkan permintaan akan komoditas dan akitivitas ekspor-impornya. Jika pandemi ini berlangsung lebih lama dari perkiraan, maka sentimen risk-off dapat meningkat dan dapat memicu capital outflow dari pasar saham Indonesia.

"Semakin cepat dan efektif pengendalian penyebaran virus maka dampaknya akan lebih positif terhadap perekonomian global dan Indonesia," katanya dalam risetnya.

Dia menambahkan, koreksi IHSG yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya memberikan peluang investasi bagi investor dengan horizon investasi jangka panjang untuk secara bertahap kembali berinvestasi di pasar saham Indonesia.

(Baca: Lonjakan Terbesar Korban Meninggal Corona, Bursa Saham Asia Turun)

Beberapa sentimen positif yang mungkin mempengaruhi pasar modal hari ini, di antaranya kecepatan eksekusi kebijakan reformis seperti omnibus law. Selain itu, revisi Daftar Negatif Investasi juga bisa menjadi katalis positif yang sangat dinantikan tahun ini.

"Perbaikan sentimen global diperkirakan akan mendorong masuknya aliran dana asing pada pasar saham Asia dimana secara historis inflow pasar saham Asia memiliki korelasi yang tinggi dengan kinerja pasar saham Indonesia," katanya.

Caroline pun mengatakan, untuk investasi jangka pendek , direkomendasikan invetsor untuk memilih sektor yang lebih defensif dengan eksposur yang lebih kecil terhadap ekonomi global dan yang telah terkoreksi tajam, seperti misalnya barang konsumsi dan semen.

"Kami akan terus mencermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terkendali," katanya.

(Baca: Tiongkok Pangkas Tarif Impor Produk AS, Bursa Saham Asia Bervariasi)

Rekomendasi Saham untuk Investor

Dengan turunnya indeks saat ini, sejumlah saham dari berbagai sektor masih bisa menjadi pilihan bagi investor untuk menempatkan dananya. Nico, menyarankan agar investor mengkoleksi saham-saham di sektor perbankan investor.

Meski demikian dia menyarankan agar investor mengkoleksi saham-saham perbankan untuk strategi investasi jangka menengah hingga panjang. "Pasalnya dalam jangka pendek, pasar masih berisiko," ujarnya.

Sementara itu Nafan merekomendasikan saham-saham blue chip di tengah kondisi pasar yang masih dipenuhi ketidakpastian. Beberapa saham tersebut seperti Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES), Adaro Energy Tbk (ADRO), Bank Negara Indonesia (BBNI), Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).

Kemudian Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (INKP), Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS), Bukit Asam Tbk (PTBA), Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP), Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), dan United Tractors Tbk (UNTR), serta Gudang Garam Tbk (GGRM).

(Baca: IPO Nara Hotel Batal, Analis Nilai Kepercayaan Investor Bakal Menurun)

Reporter: Ihya Ulum Aldin