Perusahaan migas, PT Sele Raya, dikabarkan akan segera melantai di pasar modal Indonesia melalui skema penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO). Perusahaan milik keluarga Tampi ini menargetkan dapat mengumpulkan dana sebesar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,35 triliun.
Seperti dilaporkan Bloomberg, rencana aksi korporasi ini merupakan upaya perusahaan untuk lebih intensif mengembangkan gas alam seiring dengan mengeringnya sumur-sumur minyak dan eksplorasi sumur minyak baru yang mahal.
Dana yang didapatkan dari IPO seluruhnya akan digunakan untuk membangun fasilitas produksi baru yang membutuhkan anggaran sekitar US$ 150 juta selama tiga tahun kedepan.
"Sektor minyak (di Indonesia) sudah matang, karena subsidi BBM (bahan bakar minyak) dan harganya yang tinggi membuat hampir seluruh ladang minyak yang ada habis dieksplorasi. Yang sedang naik sekarang adalah gas," kata Presiden Direktur Sele Raya Juchiro Tampi, seperti dilansir Bloomberg, Jumat (24/1).
(Baca: Tekan Defisit Neraca Migas, Menteri ESDM Dorong Proyek Jaringan Gas)
Dia menjelaskan, biaya produksi gas Sele Raya saat ini sebesar US$ 1,6 per MMBtu (milion British thermal unit). Namun dia menyebutkan bahwa calon pembeli gasnya bersedia membayar US$ 5,9 per MMBtu dan telah menandatangani kontrak pembelian hingga 2031.
Sehingga, dia tidak khawatir meskipun saat ini pemerintah tengah berusaha untuk menurunkan harga gas industri menjadi US$ 6 per MMBtu dari US$ 9 per MMBtu saat ini. "Kemampuan Sele Raya untuk menekan biaya penemuan dan eksplorasi gas akan mendorong perusahaan terus berkembang," tegasnya.
Di samping itu pemerintah terus mendorong perusahaan migas untuk meningkatkan eksplorasi dan produksi gas alam, yang separuhnya akan digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Sebab, mulai keringnya sumur-sumur minyak membuat produksi minyak Indonesia terus menyusut. Di sisi lain konsumsinya terus meningkat sehingga impor terus membengkak.
Biaya untuk mengembangkan lapangan gas alam pun jauh lebih murah dibandingkan minyak dan perusahaan migas dapat menjualnya dengan harga yang 60% lebih tinggi di dalam negeri dibandingkan mengekspornya dalam bentuk liquefied natural gas (LNG).
(Baca: Perusahaan Mitra Pertamina Siap IPO dengan Target Rp 337 Miliar)
Sehingga Sele Raya, dan perusahaan migas besar lainnya seperti Pertamina dan Medco Energi, kemungkinan besar akan menjual gasnya di pasar domestik. "Saat ini tren perekonomian Indonesia semakin mengarah untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak," kata Juchiro.
Adapun Sele Raya didirikan oleh Eddy Tampi pada 1971, dan memulai bisnisnya sebagai perusahaan pemasok makanan atau katering untuk perusahaan migas Petro Marten dan ConocoPhillips di Sorong, Papua. Kemudian pada 1972 perusahaan mulai beralih ke bisnis jasa pengeboran.
Proyek pertama perusahaan adalah dengan Pertamina untuk mengumpulkan data seismik. Namun seiring waktu, perusahaan semakin dipercaya dan berhasil menjadi kontraktor utama untuk perusahaan migas ternama seperti BP (British Petroleum), Caltex, Chevron, ConocoPhilips, CNOOC Mobil Oil, Pearl Oil, Shell, Unocal, dan sebagainya.
Kemudian pada 1994, Sele Raya meninggalkan bisnis jasa pengeboran dan mulai aktif terlibat dalam eksplorasi dan produksi untuk beberapa blok migas di antaranya blok Merangin Dua dan blok Belida di Sumatera Selatan, blok Blora (Jawa Tengah), Blok Mayumi, Lapangan Sembakung, dan BWP Meruap.