Marak Serbuan Impor Keramik, Laba Arwana Citramulia Masih Tumbuh 38%

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Perajin melakukan proses produksi keramik di sentra industri keramik Kiaracondong, Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/2/2019). Produsen keramik menghadpai tekanan sejalan dengan maraknya impor.
Editor: Ekarina
17/10/2019, 15.06 WIB

Emiten produsen keramik, PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) memperoleh laba bersih sebesar Rp 160 miliar pada kuartal III 2019.  Laba bersih perseroan meningkat 38% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya Rp 115,9 miliar, di tengah membanjirnya impor keramik ke pasar dalam negeri. 

Melonjaknya laba bersih perseroan antara lain disebabkan oleh meningkatnya  penjualan sekitar 11,6% menjadi Rp 1,63 triliun. Adapun produk keramik perusahaan paling banyak dijual kepada PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (CSAP) selaku pihak berelasi perseroan sebesar 71,75%.

Catur Sentosa Adiprana merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan industri yang mengoperasikan jaringan retail bahan bangunan Mitra10. 

(Baca: Kadin Desak Penerapan Non-tarif untuk Menangkal Gempuran Impor)

Di sisi lain, peningkatan laba bersih perseroan pada sembilan bulan pertama 2019 juga dikarenakan tidak diperolehnya rugi selisih kurs seperti yang terjadi pada periode tahun sebelumnya sekitar Rp 3,9 miliar serta menyusutnya beban keuangan sebesar 33,9%. menjadi Rp 7,9 miliar. 

"Dengan demikian perusahaan mencatat laba sebelum pajak sebesar Rp 218 miliar dengan laba bersih rp 160 miliar," tulis manajemen perseroan dalam laporan keuangan seperti yang dikutip dari Keterbukaan Informasi, Kamis (17/10).

Industri keramik dalam negeri saat ini tengah menghadapi tekanan. Ini salah satunya  disebabkan oleh serbuan impor keramik dari Tiongkok. Sepanjang tahun ini, serbuan impor keramik diperkirakan meningkat 50% menjadi US$ 286 juta dibanding 2018 sebesar US$ 190,6 juta.

(Baca: Aturan Bea Masuk Dorong Industri Keramik Tumbuh 9% di 2019)

Oleh karena itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mendorong pemerintah segera memberlakukan kebijakan non-tarif atau Non-Tariff Measures (NTM) untuk membendung arus barang impor yang masuk, baik dalam bentuk bahan baku, produk antara, maupun barang jadi guna melindungi industri dalam negeri.

"Di tengah mengecilnya tarif bea masuk karena perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA), NTM menjadi instrumen yang efektif dalam memproteksi industri dalam negeri," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Johnny Darmawan di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (10/10).

Reporter: Fariha Sulmaihati