Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal mengkaji dokumen terkait kisruh perubahan pengurus PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Sebab, hal ini berpotensi membuat perusahaan mengalami gagal bayar surat utang (notes) US$ 300 juta, yang diterbitkan pada 2016 dan 2017.
Dewan Komisioner Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan, instansinya bakal meminta klarifikasi dari beberapa pihak terkait. "Kami minta misalnya, dokumen. Dilihat anggaran dasar seperti apa, notes-nya didalamnya seperti apa, kami ingin tahu," kata dia di Gedung Bursa Efek Indoensia (BEI), Jakarta, Kamis (25/7).
Dari dokumen-dokumen tersebut, OJK bakal menilai apakah ada perubahan pengurus atau tidak. Untuk itu, OJK akan mengkaji definisi pergantian direksi dan komisaris berdasarkan bukti-bukti.
Karena itu, OJK perlu memeriksa dokumen dan memanggil pihak terkait. "Tidak bisa pembuktian berdasarkan klaim atau pernyataan. Yang sudah-sudah kan kami kumpulkan dokumen-dokumennya, kami lihat," kata Hoesen.
(Baca: Perubahan Dirut dan Komisaris Jababeka Dibawa ke Pengadilan)
OJK pun mengumpulkan dokumen terkait perubahan pengurus yang diputuskan pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada 26 Juni 2019 lalu. Hoesen mengatakan, dokumen itu tidak ada di dalam negeri. Karena itu, proses pengumpulan data ini membutuhkan waktu lama.
Salah satu dokumen yang diperlukan adalah surat utang yang diterbitkan oleh anak usaha, Jababeka International B.V. Notes itu tercatat di Singapore Exchange Securities Trading Limited (SGX-ST) dan diatur serta tunduk pada hukum Negara Bagian New York.
Dalam keterbukaan informasi yang dikeluarkan oleh Jababeka pada hari ini (25/7), manajemen—sebelum dilakukan perubahan dalam RUPST—mengklaim masih menjabat sebagai direksi dan komisaris perusahaan. Karena itu, menurut mereka hasil RUPST belum dinyatakan efektif.
(Baca: Ditolak Tiga Mitra Kontraktornya, Jababeka Batal Ganti Direksi)
Surat yang diunggah dalam keterbukaan informasi kali ini ditandatangani oleh Budianto Liman. Dalam surat itu, Budianto ditulis menjabat Direktur Utama Jababeka. Padahal, jabatan ia pada surat sebelumnya tercatat sebagai Sekretaris Perusahaan Jababeka.
Perubahan susunan direksi dan komisaris merupakan usulan dari PT Imakotama Investindo dan Islamic Development Bank. Keduanya adalah pemegang saham perusahaan, dengan porsi masing-masing 6,38% dan 10,84%. Pada RUPST lalu, Soegiharto diangkat sebagai direktur utama dan Aries Liman menjadi komisaris.
Budiarto Liman menjelaskan, perubahan direksi belum efektif karena ditentang oleh banyak pihak. Walaupun, ia mengakui hal itu disetujui oleh 52,12% pemegang saham yang hadir dalam RUPST. Jumlah itu setara 47,13% dari seluruh modal yang ditempatkan dan disetor penuh.
Selain itu, menurutnya hasil putusan tersebut tidak bisa didaftarkan dan dilaporkan oleh notaris kepada lembaga berwenang yaitu Kementerian Hukum dan HAM. "Dengan adanya indikasi sejumlah pihak yang mengatasnamakan perusahaam, maka kami menegaskan bahwa susunan direksi dan komisaris yang berlaku adalah sebagaimana disampaikan," demikian dikutip dari keterbukaan informasi tersebut.
(Baca: Jababeka Terancam Gagal Bayar Utang Di Tengah Kinerja Keuangan Positif)