PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) membukukan laba bersih sebesar US$ 809.846 atau setara dengan Rp 11,5 miliar (kurs: Rp 12.000 per US$) sepanjang 2018. Padahal, tahun sebelumnya maskapai pelat merah ini masih mengalami kerugian hingga US$ 216,5 juta atau sekitar Rp 3 triliun.
Kinerja keuangan Garuda terlihat seperti roller coaster. Pada 2014, mereka mengalami rugi sebesar US$ 370 juta. Setahun kemudian, berbalik mengantongi laba bersih US$ 76,5 juta dan berlanjut ke tahun berikutnya, meski laba bersih mereka anjlok hingga 89,4 persen menjadi US$ 8,1 juta.
Dalam laporan keuangan 2018, pendapatan usaha Garuda naik sekitar 4,6 persen dari US$ 4,17 miliar pada 2017, menjadi US$ 4,37 miliar pada tahun lalu. Kenaikan pendapatan diikuti naiknya beban usaha perusahaan dari US$ 4,23 miliar menjadi US$ 4,57 miliar.
(Baca: Garuda Indonesia Optimistis Catatkan Laba di Akhir Tahun Ini)
Meski begitu, pada tahun lalu tidak ada pos pengeluaran untuk pengampunan pajak (tax amnesty), yang pada 2017 membebani keuangan perseroan hingga US$ 50,3 juta. Selain itu, kontribusi lainnya terhadap kinerja keuangan positif garuda adalah keuntungan selisih kurs yang naik dari US$ 14,77 juta di 2017 menjadi untung US$ 28,07 juta pada 2018. Kondisi ini membuat Garuda masih membukukan laba usaha hingga US$ 100,8 juta, dari rugi tahun sebelumnya US$ 76,18 juta.
Tahun lalu, total aset Garuda juga naik 16,1 persen dari US$ 3,76 miliar di 2017 menjadi US$ 4,37 miliar. Hal tersebut dikontribusi oleh naiknya total aset lancar mereka dari hanya US$ 986,7 juta menjadi US$ 1,35 miliar. Total aset tidak lancar Garuda naik dari US$ 2,77 miliar menjadi US$ 3,01 miliar.
Sementara total liabilitas perusahaan juga mengalami peningkatan 22,5 persen dari US$ 2,82 miliar menjadi US$ 3,46 miliar, terdiri dari total liabilitas jangka pendek US$ 2,45 miliar dan liabilitas jangka panjang US$ 1,01 miliar di 2018.
(Baca: Laba Bersih Anjlok, Anak Usaha Garuda Indonesia Bagi Dividen 20%)