PT Manulife Aset Manajemen Indonesia menilai kondisi pasar modal pada dua bulan pertama 2019 memiliki kemiripan dengan kondisi pada dua bulan pertama 2018. Pada awal 2018 lalu, kondisi pasar saham maupun pasar obligasi mengalami kenaikan. Namun, tahun lalu pasar saham dan obligasi setelah Februari berfluktuasi, dan ditutup negatif pada akhir tahun.
"Sekarang ini, banyak yang bertanya, apakah pola yang akan terjadi sekarang akan sama seperti tahun lalu," kata Head of Investment Specialist Manulife Aset Manajemen Indonesia Freddy Tedja melalui siaran resmi, Selasa (19/3).
(Baca: Ada "Boom" Investasi Pasca-Pilpres, IHSG Diprediksi Tembus 6.800)
Freddy mengatakan, tren pasar saham dan obligasi hingga akhir tahun ini tidak dapat dipastikan. Namun, ada indikator dan sentimen yang dapat ditelaah dan dibandingkan kondisinya antara dua bulan pertama tahun ini dan dua bulan pertama 2018. Dia menyampaikan ada lima indikator yang mereka teliti sehingga investor dapat mengintip perkiraan pasar saham dan obligasi di 2019.
Faktor pertama, ekspektasi pertumbuhan ekonomi global. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan terus menguat, ditopang adanya pemotongan pajak di Amerika Serikat. Namun karena ekspektasi yang sangat tinggi tersebut, jika ada sesuatu kekecewaan kecil saja akan membuat pasar bergejolak.
(Baca: Katadata Market Sentiment Index Prediksi Tren IHSG Maret 2019 Turun)
Namun, tahun ini berbeda karena ekspektasi pertumbuhan ekonomi global rendah. Itu berkaca dari diturunkannya proyeksi pertumbuhan ekonomi global hingga tiga kali.
"Ekspektasi tahun lalu cenderung ketinggian, sementara saat ini ekspektasi sudah berada di level yang sangat rendah. Jika ada sedikit kejutan yang baik, hal ini bisa menopang pasar finansial," katanya
Faktor kedua, sentimen yang ada di pasar finansial. Pada Maret tahun lalu, kondisi global sedang fluktuasi di mana terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Namun, di Maret tahun ini, kedua negara tengah melakukan negosiasi untuk mencari solusi dan sudah semakin mengerucut.
(Baca: Ekonomi Global Diprediksi Melambat, Sri Mulyani Paparkan Strategi 2019)
Sehingga menurut Freddy, sentimen dari kondisi pasar finansial dunia sangat berbeda antara tahun ini dengan tahun lalu. "Tahun lalu, eskalasi, saling berbalas pengenaan tarif, tidak ada yang mau mengalah. Sementara saat ini, kedua negara cenderung untuk mencari solusi," katanya.
Faktor ketiga yaitu kebijakan moneter, di mana tahun lalu Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed sangat agresif menaikan suku bunga acuannya hingga naik 4 kali. Hal itu membuat negara lain terpaksa menaikkan suku bunganya. Hal itu berdampak pada nilai tukar rupiah yang melemah, sementara dolar AS sangat menguat.
Sedangkan tahun ini The Fed diperkirakan sudah tidak seagresif tahun lalu. Proyeksi kenaikan suku bunga acuan tahun ini hanya naik satu sampai dua kali saja. Pada negara-negara lain, termasuk Indonesia, tekanan untuk menaikkan suku bunga sudah jauh berkurang. Apa lagi mata uang rupiah saat ini sudah semakin stabil, berbeda dengan tahun lalu.
Faktor keempat yaitu valuasi aset. Tahun lalu, di tengah optimisme pertumbuhan ekonomi global, valuasi pasar saham di negara Asia berada di level premium, yang cenderung lebih mahal di atas rata-rata lima tahun. Tapi, saat ini, valuasi pasar saham berada di level yang lebih wajar setelah sepanjang akhir tahun lalu mengalami penurunan.
Faktor terakhir yaitu pergerakan arus keluar-masuk dana investor asing. Pada 2017, IHSG naik 19,99%. Kondisi ini membuat, investor asing di awal 2018, dengan leluasa bisa keluar dari Indonesia untuk aksi ambil untung (profit taking). Ketika saat itu, juga terjadi gonjang-ganjing perang dagang.
Saat ini, dengan perbaikan arah negosiasi perdagangan AS dengan Tiongkok, kemudian kebijakan moneter yang tidak seketat tahun lalu, juga nilai tukar mata uang rupiah yang lebih stabil, arah kebijakan investor akan berbalik. Tahun ini, investor asing memiliki tren masuk kembali ke negara berkembang, termasuk juga ke Indonesia.
Dengan kelima faktor tersebut, Freddy menyampaikan, kendati arah pasar modal dan obligasi hingga akhir tahun masih belum dapat ditebak, namun pemicu penurunan yang terjadi di bulan Maret tahun lalu saat ini hampir semuanya sudah tidak ada. "Kondisi (saat ini) sudah sangat berbeda, sangat berubah, jauh lebih kondusif," kata Freddy.