Bursa Saham Global Menghijau Meski Hubungan AS-Tiongkok Kian Panas
Bursa saham global kompak mengakhiri perdagangan Senin (1/6) waktu setempat, meskipun dipengaruhi sejumlah sentimen negatif seperti memanasnya hubungan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok terkait status Hong Kong, serta kerusuhan di negeri Paman Sam.
Ketegangan antara AS dan Tiongkok kian panas setelah Presiden Donald Trump mencabut status khusus Hong Kong sebagai aksi balasan terhadap Negeri Panda yang berniat menerapkan undang-undang (UU) keamanan nasional baru di kota yang menjadi salah satu pusat keuangan global tersebut.
Dengan demikian Hong Kong akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan Tiongkok terkait kebijakan perdagangan internasional AS. Tiongkok pun membalas tindakan AS tersebut dengan menginstruksikan BUMN-nya untuk menahan impor kedelai dan daging babi dari AS.
“Kinerja pasar dipengaruhi retorika Trump melawan Tiongkok dan hambatan perdagangan terhadap Hong Kong bisa lebih buruk dari yang telah terjadi,” kata analis dari Raymond James Wealth Manager, Chris Bailey, seperti dikutip Reuters, Selasa (2/6).
(Baca: Wall Street dan Bursa Global yang Terkerek Harapan atas New Normal)
Bursa saham di Wall Street menutup perdagangan Selasa dini hari tadi, atau Senin sore waktu AS, dengan positif. Padahal di seluruh penjuru AS terjadi aksi massa membela warga kulit hitam George Floyd yang tewas ketika ditangkap oleh polisi di Minnesotta.
Indeks Dow Jones naik 0,36%, S&P 500 0,38%, dan Nasdaq 0,66%. Sedangkan indeks FTSE 100 Inggris melesat 1,48%. Sementara itu bursa saham Asia naik signifikan pada Senin sore, dipimpin indeks Hang Seng Hong Kong yang melesat 3,36%.
Menyusul di belakang Hangseng yakni indeks Shanghai Tiongkok dengan kenaikan 2,21%, Kospi Korea Selatan 1,75%, Straits Times Singapura 1,6%, serta Nikkei 225 Jepang naik 0,84%. Sejumlah bursa saham di Asia Tenggara juga naik signifikan seperti KLSE Malaysia 2,24% serta SET Thailand 0,71%.
Menghijaunya bursa saham global didorong oleh ekspektasi investor terhadap rebound-nya perekonomian global setelah sejumlah negara mulai melonggarkan karantina wilayahnya (lockdown) dalam melawan pandemi corona.
(Baca: Kasus Virus Corona Makin Merebak, Bursa Saham Global Rontok)
Seperti aktivitas manufaktur di Perancis yang terus meningkat sepanjang bulan Mei pasca-lockdown selama dua bulan terakhir. Kemudian aktivitas pabrik-pabrik di Tiongkok tumbuh melambat pada Mei 2020 namun sektor jasa dan konstruksi di sana terus meningkat.
Sementara kegiatan manufaktur di AS terus meningkat sepanjang bulan lalu setelah menyentuh level terendahnya dalam 11 bulan terakhir pada April. Meski demikian pemulihan ekonomi pasca Covid-19 diprediksi membutuhkan waktu lebih dari setahun karena tingginya pengangguran di sana.
Analis memprediksi pengangguran di AS pada Mei naik menjadi 19,8%, dengan nyaris 30 juta orang kehilangan pekerjaannya. Kerusuhan aksi solidaritas terhadap George Floyd juga berpotensi menekan perekonomian AS.
(Baca: Guyuran Stimulus Global Tahan Penurunan Bursa Saham Asia)
Adapun bursa saham global telah anjlok seiring dengan penurunan harga minyak dunia dan penyebaran virus corona (Covid-19). Hingga pertengahan Maret 2020, bursa saham Italia turun paling dalam hingga 24,8%. Adapun kinerja sejumlah bursa saham di dunia dapat dilihat pada databoks berikut ini.