Anggota Komisi VII Bantah IPO PGE Sebagai Langkah Privatisasi

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.
Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Tbk Ahmad Yuniarto berbicara pada konferensi pers Penawaran Umum Perdana Saham PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Tbk di Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Penulis: Happy Fajrian
17/2/2023, 07.35 WIB

“Logikanya saja, bagaimana mungkin publik sebagai pemilik 25% saham, bisa mengambil alih dari Pertamina yang masih memiliki mayoritas saham, yaitu 75%? Tolong tunjukkan hitung-hitungannya kalau memang 25% bisa mengambil alih yang 75%,” katanya.

Kemudian, prinsip transparansi bersifat mandatori bagi emiten, lanjutnya, dengan prinsip tersebut, tidak ada celah bagi PGE untuk menutup-nutupi atau merekayasa laporan keuangan. Artinya, semua serba fair.

Setiap transaksi akan terlihat dan diawasi, tambahnya, jika terdapat upaya kecurangan, tentu bisa dengan mudah terbaca oleh publik.

Selain itu, kata dia, perusahaan yang bergerak di sektor panas bumi, yang notabene merupakan tulang punggung energi baru dan terbarukan (EBT), PGE membutuhkan dana tidak sedikit, yang salah satu sumber pendanaan tersebut melalui IPO.

“Jangan lupa bahwa dengan IPO, PGE tidak perlu membayar kewajiban pembayaran utang. Yang dilakukan hanya sharing keuntungan dengan investor,” ujarnya.

Perusahaan panas bumi yang beroperasi di Indonesia tidak hanya PGE, tetapi ada juga perusahaan swasta lainnya dengan total pengusahaan tidak kurang dari 49 perusahaan termasuk perusahaan swasta.

“Dari data itu maka isu swastanisasi tentu semakin tidak berdasar karena perundang-undangan memang membuka peluang bagi pihak swasta untuk mengelola panas bumi tidak hanya saham saja,” katanya.

Halaman:
Reporter: Antara