Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bakal menyampaikan hasil investigasi atas kasus Asuransi Jiwasraya kepada Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada hari ini (3/2). BPK sempat mengatakan bahwa kemelut di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu bisa berisiko sistemik.
“Pada hari ini kami akan menyampaikan beberapa hal. Kalau suratnya (undangan) itu terkait pemeriksaan,” kata Ketua BPK Agung Firman Sampurna saat memimpin rapat konsultasi dengan Komisi XI DPR di kantornya, Jakarta, Senin (3/2).
Rapat tersebut dihadiri oleh Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto dan Wakil Ketua Komisi XI Eriko Sotarduga. (Baca: Beda dengan BPK, KSSK Menilai Jiwasraya Tak Berdampak Sistemik)
Awak media tidak diperkenankan mengikuti jalannya diskusi. Namun, Agung mengatakan bahwa hasil diskusi akan disampaikan usia rapat.
Sebelumnya, BPK mengungkapkan bahwa Jiwasraya melakukan rekayasa keuangan guna menutupi kerugian perusahaan sejak 2006. Agung mengatakan, Jiwasraya melaporkan laba yang semu dalam laporan keuangan tahun tersebut.
"Sebagaimana merupakan rekayasa akuntansi atau window dressing," kata Agung, awal Januari lalu. (Baca: BPK Menilai Kasus Jiwasraya Gigantik Sehingga Berisiko Sistemik)
Laporan keuangan 2016 juga direkayasa dengan membukukan laba Rp 360,6 miliar. Kemudian dalam laporan keuangan 2017, perusahaan asuransi pelat merah ini menunjukkan kinerja keuangannya masih positif, dengan perolehan laba Rp 2,4 triliun atau naik 37,64% dibandingkan tahun sebelumnya.
Ekuitas perseroan surplus Rp 5,6 triliun tetapi kekurangan cadangan premi Rp 7,7 triliun, karena belum memperhitungkan impairment asset atau penurunan aset. KAP PricewaterhouseCoopers (PWC) memberikan opini adverse atau dengan modifikasi. "Sehingga jika ketentuan pencadangan sesuai, seharusnya perusahaan merugi," ujarnya.
Adapun pada 2018, Jiwasraya membukukan kerugian unaudited sebesar Rp 15,3 triliun. Pada September 2019, BUMN itu juga merugi 13,7 triliun. Lalu pada November 2019, keuangan perusahaan mengalami negatif equity Rp 27,2 triliun.
Selain itu, Agung menyebut Jiwasraya merekayasa salah satu produknya yakni JS Saving Plan. Rekayasa tersebut berupa harga saham yang dibeli tak sesuai dengan harga yang sebenarnya. "Produk ini diduga rentan konflik kepentingan karena Jiwasraya mendapat fee atas penjualan produk tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, Agung menjelaskan, BPK menemukan pula bahwa selama ini pihak Jiwasraya menaruh dana JS Saving Plan ke saham-saham yang berkualitas rendah. Saham tersebut yakni TRIO (Trikomsel Oke Tbk), SUGI (Sugih Energy Tbk), dan LCGP (Eureka Prima Jakarta Tbk) pada 2014 dan 2015 yang tidak didukung oleh kajian usulan penempatan saham yang memadai.
Atas dasar temuan tersebut, BPK mengerjakan dua hal utama yang diprediksi rampung dalam dua bulan ke depan. Pertama, BPK akan terus memeriksa secara investigatif kepada semua pihak yang berhubungan dengan kasus ini, termasuk memeriksa Otoritas Jasa Keuangan, Bursa Efek, Kementerian BUMN, serta pada tingkat korporasi.
Kedua, BPK juga akan menghitung kerugian negara akibat adanya kasus gagal bayar Jiwasraya. (Baca: Hasil Investigasi, BPK: Manajemen Risiko Jiwasraya Bermasalah )
Agung menilai, masalah keuangan Asuransi Jiwasraya memiliki risiko sistemik. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang pengaturan dan pengawasan makroprudensial, risiko sistemik adalah potensi instabilitas akibat gangguan yang menular pada sebagian atau seluruh sistem keuangan.
Penyebabnya, interaksi dari faktor ukuran, kompleksitas usaha dan keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan, serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan. "Kasus ini cukup besar, bahkan gigantik sehingga memiliki risiko sistemik," kata Agung pada bulan lalu (8/1).
(Baca: BPK: Asabri Tak Mungkin Gagal Bayar Klaim seperti Jiwasraya)