Kondisi keuangan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera semakin menipis. Penyebabnya, pendapatan premi tidak cukup untuk menutupi kebutuhan klaim dan biaya. Alhasil, bila tidak ada terobosan, aset likuid Bumiputera bakal tergerus habis sehingga tak mampu menutup defisit yang diperkirakan mencapai Rp 9 triliunan dalam tiga tahun ke depan.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Katadata, ada jurang besar antara kekayaan dan kewajiban (liabilitas) yang ditanggung Bumiputera. Aset perusahaan cuma sekitar Rp 10 triliunan. Bahkan, aset finansial yang likuid tak sampai Rp 4 triliun dari total aset finansial yang berkisar Rp 6 triliunan. Sebaliknya, kewajiban Bumiputera hampir tiga kali lipat lebih besar dari asetnya, yaitu hampir Rp 30 triliun.
Bumiputera sebenarnya telah terbelit kesulitan keuangan sejak lama. Lima tahun lalu, yaitu pada 2011, misalnya, pendapatan premi tercatat Rp 4,99 triliun, sedangkan total klaim Rp 5,281 triliun. Untungnya, arus kas negatif itu bisa ditutup oleh hasil investasi dan pendapatan lain. (Baca juga: Pertaruhan “Akrobat” Penyelamatan Bumiputera)
Kondisi perusahaan tercatat membaik pada 2015 lalu. Pendapatan premi mencapai Rp 5,54 triliun sehingga mampu melampaui klaim yang sekitar Rp 5,01 triliun. Meski begitu, kondisi keuangan perusahaan ternyata belum aman sehingga muncul rencana mencari dana di pasar modal untuk menutup kewajiban-kewajiban Bumiputera ke depan.
Sumber Katadata di internal perusahaan mengatakan, keuangan Bumiputera tak akan mampu menutup kewajiban klaim yang semakin membengkak ke depan. Menjual aset untuk menutupi klaim pun bukan jalan keluar. Sebab, aset Bumiputera lebih kecil dari kewajiban yang harus ditanggung. (Baca juga: Sri Mulyani Pantau Langkah OJK Selamatkan Bumiputera)
Sekadar gambaran, klaim telah menembus Rp 3,5 triliun hingga Juli lalu dan diproyeksi mendekati Rp 6 triliun di akhir tahun ini. Pada 2017, nilai klaim diperkirakan hampir Rp 7 triliun, lalu di atas Rp 7 triliun pada 2018. Pembengkakan klaim terus berlanjut menembus Rp 8 triliun pada 2019 dan terus menanjak di tahun-tahun selanjutnya.
2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 | Juli 2016 | |
Premi | Rp 4,99 T | Rp 5,39 T | Rp 5,28 T | Rp 5,23 T | Rp 5,54 T | Rp 3,1 T |
Klaim | Rp 5,28 T | Rp 6,19 T | Rp 6,23 T | Rp 5,48 T | Rp 5,01 T | Rp 3,5 T |
Di sisi lain, pendapatan premi bakal makin sulit diharapkan untuk mengejar klaim. Bila tak ada perubahan yang dilakukan perusahaan, nilai premi diperkirakan cuma berkisar Rp 4-5 triliunan. Sementara itu, pendapatan investasi diproyeksi terus menyusut. (Baca juga: Langkah OJK Ambil Alih Bumiputera Dinilai Salahi Aturan)
Ujung-ujungnya, defisit keuangan bisa membengkak. Hingga Juli lalu, defisit operasional sebelum memperhitungkan hasil investasi, hampir menembus Rp 1 triliun. Adapun dalam tiga tahun ke depan, total defisit bisa mencapai Rp 9 triliunan.
Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non-Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani enggan menjelaskan rinci perihal kondisi keuangan Bumiputera. “Itu lagi kami benahi,” ujarnya kepada Katadata di Jakarta (7/11). Sebelumnya, melalui pesan singkat, Firdaus menyatakan arus kas (cashflow) perusahaan belum bermasalah. “Sejauh ini cash flow tidak masalah.”
Hal senada disampaikan pengelola statuter Bumiputera bidang SDM, Umum dan Komunikasi Adhi Massardi, pekan lalu. “Tidak ada (kebutuhan dana) jangka pendek, justru jangka panjang,” katanya.