Tahun depan, sebagian negara yang tergabung dalam kelompok Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) akan memberlakukan pertukaran informasi secara otomatis, Automatic Exchange of Information(AEOI), terutama keterbukan informasi perbankan dan pajak. Walau begitu, Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendorong pemerintah agar pertukaran informasi diperluas ke kepemilikan properti.
Tujuannya, untuk mencegah upaya penghindaran pajak dengan cara membeli properti untuk menyembunyikan penghasilan. “Klausul dalam AEOI baru mengakomodasi informasi finansial. Jadi properti tidak masuk skema pertukaran otomatis,” kata Prastowo kepada Katadata, Rabu, 14 September 2016.
Dorongan terkait perluasan jenis informasi dalam AEOI disampaikan Prastowo menanggapi informasi adanya orang kaya Indonesia yang membeli properti mewah di Singapura untuk menghindari AEOI. Seperti halnya Indonesia, Singapura bakal mulai menjalankan kesepakatan AEOI pada 2018. (Baca: Pemerintah Siapkan Aturan Memasuki Era Pertukaran Informasi Pajak).
Sebagaimana diberitakan Bloomberg, dikabarkan terjadi lonjakan pembelian hunian mewah di Singapura oleh orang kaya Indonesia. Beberapa agen properti Singapura menyebutkan sejumlah pembelian berkaitan dengan upaya penghindaran pajak.
Mengacu pada data Urban Redevelopment Authority di Singapura, pembelian rumah mewah berharga di atas S$ 5 juta atau lebih dari Rp 48 miliar oleh orang Indonesia naik hampir empat kali lipat dari total pembelian tahun sebelumnya. Sepanjang Januari hingga Agustus 2016, warga Indonesia tercatat membeli 30 properti berharga di atas Rp 48 miliar. Jumlah tersebut melampaui pembelian properti berharga serupa sepanjang 2015 yang hanya mencapai delapan unit.
Kesaksian para agen properti Singapura tersebut terdengar miris di tengah upaya Indonesia melaksanakan program pengampunan pajak (tax amnesty). Wajib pajak Indonesia bisa mendapatkan pengampunan atas seluruh ‘dosa’ pajak hanya dengan mendeklarasikan seluruh harta dan membayar tebusannya. (Baca juga: Indonesia Dorong Sistem Pajak yang Adil dan Transparan di Forum G20).
Sayang, hingga saat ini jumlah orang kaya Indonesia yang memanfaatkan fasilitas tax amnesty masih minim. Mengacu pada data Direktorat Jenderal Pajak per 15 September 2016, jumlah deklarasi harta mencapai Rp 483 triliun. Kebanyakan merupakan deklarasi harta dalam negeri. Deklarasi harta luar negeri baru Rp 115 triliun. Dari jumlah itu, nilai harta yang dipulangkan ke Indonesia (repatriasi) juga minim, yakni Rp 23,5 triliun. Padahal pemerintah menargetkan deklarasi harta Rp 4.000 triliun dan repatriasi Rp 1.000 triliun.
Meski mengakui adanya kemungkinan orang kaya Indonesia membeli hunian mewah di Singapura untuk menghindari keterbukaan data finansial, namun Prastowo tak yakin cuma itu motif di balik fenomena tersebut. “Ini profit taking saja, kalau dilihat dari volumenya,” ujarnya. Apalagi, pembelian juga dilakukan saat harga properti di Negeri Singa tengah turun.
Meski begitu, Prastowo menilai perluasan kesepakatan AEOI tetap perlu dilakukan. Selain itu, ia juga mendorong penguatan regulasi dan administrasi pajak. Tujuannya untuk menghadapi upaya-upaya penghindaran atau pengemplangan pajak dan meningkatkan penerimaan negara. “Misalnya tentang prinsip worldwide income kita, yang harus menggabungkan penghasilan dari dalam dan luar Indonesia. Harus ditegaskan dan diberi sanksi yang berat,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, sistem pertukaran informasi secara otomatis ini digagas oleh kelompok negara OECD. Target utamanya untuk mencegah penghindaran dan pengelakan pajak. Dua modus ini yang disebut Kementerian Keuangan menjadi penyebab utama basis pajak negara yang menerapkan tarif cukup tinggi tergerus. (Lihat pula: Menteri Keuangan Dorong G20 Sanksi Pelanggar Pajak Global).
Pada 2010 mengemuka pertukaran informasi secara otomatis untuk kepentingan perpajakan. Saat itu berbarengan dengan upaya Amerika Serikat mengenalkan kebijakan Foreign Account Tax Compliance Act (FACTA). Melalui FACTA, Amerika meminta lembaga keuangan negara lain untuk memberi laporan terkait aktivitas akun keuangan warga negaranya yang memegang kepemilikan signifikan (FFI) dalam sebuah perusahaan di negara lain.
Sempat kurang mendapat respons, langkah Amerika baru ditanggapi serius oleh beberapa negara tiga tahun kemudian. Pada 2013, menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang tergabung dalam G20 dan OECD berkumpul membahas masalah tersebut. Satu pandangan tercapai: memberi dukungan barter informasi secara otomatis. (Baca: Panama Papers dan Perburuan Dana Gelap ke Penjuru Dunia).
Ketika itu berbarengan dengan beredarnya dokumen Offshore Leaks. Bocoran data dari Portcullis TrustNet (Singapura) dan Commentwealth Trust Limited (British Virgin Island) itu memuat -dari 2,5 juta dokumen- 2.961 akun nasabah pemilik rekening asal Indonesia di sepuluh negara suaka pajak, di antaranya Caymand Island, Cook Island, dan Singapura.
Pada 14 April lalu, OECD mempublikasikan 94 negara telah berkomitmen berbagi informasi dengan menerapkan common reporting standard. Dari jumlah itu, 55 negara menyatakan mulai mempertukarkan informasi secara otomatis mulai September tahun depan. (Baca: Panama Papers Dorong Negara Maju Waspadai Kejahatan Pajak).
“Termasuk yuridiksi yang selama ini dikenal sebagai tax haven seperti Bermuda, British Virgind Island, Cayman Island, dan Luxembourg,” demikian pernyataan Kementerian Keuangan. Sementara itu, sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, dan Indonesia baru menerapkan kebijakan ini pada 2018.