PT Bank Mandiri Tbk membukukan kinerja kurang positif pada semester I 2020 dengan raihan laba Rp 10,29 triliun, turun 23,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan laba disebabkan karena sepanjang semester I 2020 perseroan tergolong konservatif imbas adanya pandemi virus corona atau Covid-19.
Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar pihaknya terus memastikan pertumbuhan konservatif melalui penerapan prinsip kehati-hatian. Sepanjang semester I 2020 perseroan juga melakukan analisis cermat dalam penyaluran pembiayaan, sehingga rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) terjaga di level 3,28%.
“Untuk mengantisipasi potensi ketidakpastian ekonomi, kami juga membangun pencadangan untuk memastikan terjaganya kualitas aset. Per Juni 2020, rasio coverage cadangan kerugian penurunan nilai secara konsolidasi berada di kisaran 195,5%,” kata Royke dalam virtual conference, Rabu (19/8).
Ia menjelaskan meski pencadangan naik, Bank Mandiri memastikan likuiditas berada pada level aman dan dapat mendukung skenario ekspansi. Hal ini didukung pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 15,82% year on year (yoy) menjadi Rp 976,6 triliun, di mana komposisi dana murah mencapai 61,9%.
Dengan beberapa strategi tersebut, Royke cukup bersyukur Bank Mandiri mampu menjaga kinerja dengan tetap membukukan laba meski turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dari sisi aset, Bank Mandiri secara konsolidasi mencatatkan pertumbuhan 10,02% menjadi Rp 1.359,4 triliun.
Sementara dari sisi penyaluran kredit, sepanjang semester I 2020 Bank Mandiri menyalurkan sebanyak Rp 871,7 triliun, naik 4,23% dibandingkan semester I 2019.
Per 30 Juni 2020 komposisi terbesar dicatatkan oleh kredit produktif dengan nilai mencapai Rp 585,3 triliun, naik 4,23% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Secara perinci terdiri dari kredit modal kerja sebesar Rp 306,4 triliun dan kredit investasi sebesar Rp 279 triliun.
Sementara penyaluran kredit konsumsi tercatat sebesar Rp 169,5 triliun sepanjang semester I 2020, naik 3,56% dibandingkan semester I 2019.
Royke menjelaskan saat ini fokus utama penyaluran kredit perseroan adalah membantu pelaku usaha terdampak pandemi corona, untuk mengembalikan kapasitas yang sempat lesu akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan di sejumlah wilayah di Indonesia.
Salah satu bentuk perwujudan peran Bank Mandiri dalam pemulihan ekonomi ini adalah, penyaluran kredit yang bersumber dari penempatan dana negara. Seperti diketahui, dari penempatan dana pemerintah di bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 30 triliun, perseroan mendapat alokasi Rp 10 triliun.
Dari alokasi tersebut, Bank Mandiri menargetkan mampu menyalurkan kredit sebanyak tiga kali lipat atau Rp 30 triliun. Per 13 Agustus 2020, jumlah yang disalurkan sudah mencapai Rp 26,9 triliun kepada 50.596 debitur.
"Dari jumlah tersebut, sebanyak 33.828 debitur atau 66,9% diantaranya merupakan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM),” ujar Royke.
Dalam penyaluran kredit yang masuk dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) ini, Bank Mandiri tidak hanya menyasar debitur eksisting melainkan juga debitur baru. Ia mengatakan seluruh debitur penerima pembiayaan PEN untuk segmen kredit usaha rakyat (KUR) misalnya, merupakan debitur baru.
Secara keseluruhan, penyaluran KUR Bank Mandiri per 30 Juni 2020 mencapai Rp 7,03 triliun atau 39,7% dari target penyaluran tahun ini sebesar Rp 17,7 triliun, dengan jumlah penerima sebanyak 84.500 debitur. Sementara outstanding KUR sejak 2015 tercatat mencapai Rp31,5 triliun kepada 1,65 juta debitur.
“Kami juga telah mensosialisasikan 1.748 jaringan Mandiri mikro di seluruh Indonesia terkait kebijakan KUR 0% bagi ibu rumah tangga dan pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), untuk memulai usaha,” ujarnya.
Bentuk dukungan Bank Mandiri terhadap pemulihan sektor usaha terdampak pandemi corona juga terlihat dari realisasi restrukturisasi kredit. Per 13 Agustus 2020, perseroan telah merestrukturisasi kredit 324.085 debitur UMKM dengan nilai outstanding Rp32,6 triliun.
Secara keseluruhan, total kredit yang direstrukturisasi sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 mencapai Rp 119,3 triliun dari 545.692 debitur. Adapun, skema restrukturisasi yang diberikan adalah penundaan pembayaran tagihan dan pembebasan bunga.