Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah melaporkan adanya dugaan kecurangan atau fraud terkait fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang diberikan kepada sejumlah debitur. Laporan tersebut disampaikan kepada Kejaksaan Agung pada Senin (18/3).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mendukung upaya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam penyelesaian kredit bermasalah di LPEI melalui jalur hukum dengan menggandeng Kejaksaan Agung.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman mengatakan, upaya Kemenkeu merupakan suatu langkah strategis untuk menyelesaikan kredit bermasalah dari debitur-debitur yang tidak kooperatif dalam memenuhi kewajibannya kepada LPEI.
"OJK sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) juga akan terus melanjutkan pengawasan secara off-site maupun pemeriksaan langsung terhadap LPEI. OJK juga berkoordinasi dengan Kemenkeu mengenai pengawasan LPEI," kata Agusman dalam keterangan resmi dikutip Rabu (20/3).
Sebagai lembaga di bawah pembinaan Kemenkeu, LPEI merupakan lembaga yang didirikan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009. LPEI adalah lembaga keuangan khusus berstatus badan hukum yang seluruh modalnya dimiliki negara.
"LPEI juga diawasi OJK sesuai POJK No. 9/POJK.05/2022 tentang Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia," kata Agusman.
Indikasi Kredit Macet di Sejumlah Debitur
Sri Mulyani telah mencium adanya dugaan fraud dalam penyaluran kredit LPEI di sejumlah debitur. Sebab, kredit macet LPEI meningkat dan memengaruhi kinerja keuangan perusahaan.
“Hari ini kami bertandang ke Kejaksaan Agung untuk menyampaikan hasil pemeriksaan dari tim terpadu, terutama terhadap kredit bermasalah yang terindikasi adanya fraud, yaitu adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan debitur,” ujarnya.
Dia menuturkan terdapat empat debitur yang terindikasi fraud dengan nilai outstanding mencapai Rp 2,5 triliun. Keempat debitur tersebut adalah PT RII, PT SMS, PT SPV, dan PT PRS.
Empat perusahaan tersebut masih dalam proses audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Keuangan Kemenkeu, dan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).
Sementara itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, laporan tersebut merupakan tahap pertama hasil temuan. Masih ada temuan tahap kedua yang diduga memiliki nilai outstanding pinjaman yang fraud sebesar Rp 3 triliun.
“Nanti ada tahap kedua, ada enam perusahaan. Yang sedang dilakukan pemeriksaan oleh BPKP. Saya minta tolong segera ditindaklanjuti agar tidak kami lanjutkan dengan tindak pidana,” kata dia.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut menambahkan, laporan yang diserahkan oleh Kementerian Keuangan tersebut statusnya belum bisa ditentukan. Laporan ini akan ditindaklanjuti melalui serangkaian pemeriksaan oleh tim khusus.
Awalnya, kasus ini diserahkan kepada Jamdatun Kejagung. Namun, setelah melakukan penelitian, Kejagung menemukan dugaan tindak pidana.
"Ternyata ada mengandung unsur fraud, ada unsur penyimpangan dalam pemberian fasilitas atau pun pembiayaan kredit dari LPEI kepada para debitur tadi. Karena [kredit] sudah macet dan sebagainya, makanya kami serahkan ke Pidsus (Pidana khusus) untuk pemulihan aset," katanya.
Saat ini, Kejagung belum menentukan status penanganan perkara. Penentuan status kasus ini akan dilakukan setelah serangkaian pemeriksaan dan penyelidikan oleh tim Penyidik Jampidsus Kejagung.