Kementerian Keuangan menyebut pajak perdagangan daring atau e-commerce bakal diatur dalam omnibus law perpajakan yang tengah dirancang pemerintah. Adapun pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden atau PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang perdagangan melalui sistem elektronik.
"Kalau perpajakannya nanti diatur di omnimbus law perpajakan" kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara saat ditemui di Inaya Hotel, Bali, Kamis (5/12).
Suahasil menjelaskan, omnibus law antara lain akan mengatur subjek pajak luar negeri atau SPLN lebih detail. Adapun dalam pasal 7 PP Nomor 80 Tahun 2019, diatur bahwa penyedia layanan transaksi elektronik dari luar negeri yang memenuhi syarat significant economic presence atau SEP wajib menunjuk perwakilannya di Indonesia.
Pewakilan tersebut kemudian wajib memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau PPN atas penjualan SPLN itu. Pemerintah pun siap menjatuhkan sanksi jika mereka tak mematuhi ketentuan tersebut.
(Baca: Poin Penting PP E-Commerce, dari Pajak hingga Aduan Konsumen)
PP ini juga mengatur, setiap pelaku usaha online wajib memenuhi persyaratan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Suahasil menilai ketentuan NPWP sebenarnya berlaku umum bagi pelaku usaha sesuai ketentuan perpajakan. Setiap pelaku usaha yang sudah memenuhi ketentuan untuk dikenakan pajak, wajib melakukan sendiri perhitungan pajaknya.
"Sebenarnya kalau memiliki usaha, wajib melakukan perhitungan sendiri kalau dia memenuhi ketentuan terkena pajak," terang dia.
Ia juga menyebut keuntungan bagi pelaku usaha yang memiliki NPWP. "Kalau pelaku usaha itu punya NPWP, maka pajak yang saya bayarkan itu bisa dikompensasi, bisa dikreditkan jadi pengurang pajak. Ini sebenarnya lebih baik," jelas dia.
(Baca: Banyak Salah Kaprah, Sri Mulyani Tarik Aturan Pajak untuk E-Commerce)
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebenarnya sudah pernah menebitkan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK terkait pajak e-commerce. Namun, aturan tersebut ditarik kembali tak lama setelah diterbitkan.
Pencabutan dilakukan karena aturan ini kerap disalahartikan sebagai pungutan pajak yang baru. "Kami tarik saja aturannya karena noise yang muncul begitu banyak dan tidak produktif,” kata Sri Mulyani, Jumat (29/3).
Sementara terkait omnibus law perpajakan, Sri Mulyani menyebut salah satu poinnya yakni mengukuhkan perusahaan digital internasional, seperti Amazon dan Google sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, mereka nantinya bisa menyetor dan melaporkan PPN sebesar 10% ke Indonesia.
RUU ini akan mengubah definisi Bentuk Usaha Tetap atau BUT. BUT nantinya tak lagi didasarkan pada kehadiran fisik, namun kehadiran ekonominya. Menurut Sri Mulyani, perubahan definisi BUT ini dilakukan agar bisa memajaki perusahaan digital internasional yang tak memiliki BUT di Indonesia.