Beda Resesi Ekonomi di Mata Sri Mulyani, Perry Warjiyo dan Agus Marto

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Gubernur BI Perry Warjiyo (kedua kanan), Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso (kedua kiri), Dirut BEI Inarno Djajadi (kiri) dan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen (kanan) memainkan angklung sebagai pembukaan CEO Networking 2019 di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Penulis: Yura Syahrul
Editor: Redaksi
1/11/2019, 09.02 WIB

(Baca juga: Demonstrasi Tak Berujung, Ekonomi Hong Kong Memasuki Resesi)

Dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, Sri Mulyani berharap para pimpinan perusahaan juga ikut optimistis untuk mulai berinvestasi dan menjalankan usahanya. "Karena untuk mendongkrak ekonomi ini harus melibatkan sektor usaha juga," katanya. Ia pun menambahkan, optimisme tersebut harus ditularkan ke semua pelaku usaha. "Sehingga dunia usaha tidak lagi wait and see (untuk berinvestasi)."

Pandangan Gubernur dan Mantan Gubernur BI

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur BI juga mengungkapkan pandangannya mengenai kondisi ekonomi global. Bank sentral memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini mencapai 3 persen dan 3,1 persen pada 2020. Proyeksi tersebut dengan asumsi perang dagang tidak semakin memburuk dan kesepakatan AS dan Tiongkok dapat terealisasi bulan depan.

Berdasarkan asumsi itu, BI masih melihat terbukanya ruang bagi kebijakan moneter yang akomodatif. Kebijakan ini bisa dalam bentuk suku bunga, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) atau relaksasi makroprudensial.

Namun, menurut Perry, BI tetap mengikuti dan mencermati perkembangan kebijakan dan kondisi ekonomi global, terutama analisa skenario-skenario ekonomi dari AS. Bila perang dagang semakin memburuk maka pertumbuhan ekonomi global tahun depan kemungkinan tidak mencapai 3,1%. Namun, malah bisa turun ke 2,9% hingga 3%.

Perry pun melihat ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di tengah perlambatan global. Diperkirakan ekonomi Indonesia tahun ini masih bisa tumbuh mendekati 5,1%. "Negara lain, ekonominya menurun bahkan resesi. Tapi, tahun ini growth kita mendekati 5,1%."

Ia pun optimistis pertumbuhan ekonomi tahun depan bakal lebih baik dan menuju 5,3%. Hal itu bisa terwujud dengan ditopang konsumsi domestik dan investasi.

Sedangkan tingkat inflasi akan terus dijaga pada level bawah. Inflasi hingga akhir tahun nanti diperkirakan mencapai 3,3%. Adapun, pada tahun depan, inflasi diproyeksikan lebih rendah lagi yaitu sekitar 3%. "Dengan inflasi yang rendah dan stabil maka akan mendorong daya beli."

Dalam forum yang sama namun di kesempatan berbeda, mantan Gubernur BI Agus Martowardojo juga mengomentari kondisi perekonomian global. Menurut dia, pemerintah dan para pelaku usaha tetap harus mencermati dan mewaspadai kondisi tersebut berikut dampaknya ke ekonomi dalam negeri.

(Baca lagi: Mayoritas Divisi Bisnis Kinerjanya Melemah, Laba Bersih Astra Turun 7%)

Dalam pengamatannya, gejolak ekonomi global sudah dirasakan juga dampaknya di Indonesia yaitu berupa penurunan bisnis dan kinerja perusahaan. "Kita benar-benar harus mewaspadai kondisi ini, karena itu dampaknya ke penurunan penjualan, pendapatan, dan keuntungan perusahaan," kata Agus dalam sesi berbeda dan tanpa dihadiri oleh Sri Mulyani dan Perry Warjiyo.

Dalam catatan Katadata.co.id, sejumlah perusahaan memang sedang terbelit masalah likuiditas dna penurunan kinerja saat ini. Belum lama ini, grup besar tekstil yaitu Duniatex Group tengah terbelit tumpukan kredit bermasalah di beberapa bank. Kondisi ini menyusul tertekannya ekspor tekstil Indonesia ke luar negeri.

Beberapa perusahaan besar juga merilis kinerja keuangan kuartal III 2019 yang tidak menggembirakan. Contohnya, laba bersih PT Astra Indternational Tbk --yang merupakan konglomerasi bisnis multisektor-- turun 7% dibandingkan kuartal III tahun lalu. Ini akibat penurunan mayoritas kinerja lini bisnis perusahaan tersebut, khususnya Divisi Otomotif yang menderita penurunan laba bersih sebesar 13,6%.

Halaman: