Para ekonom memprediksi, Bank Indonesia (BI) bakal mepertahankan suku bunga acuan 7-Day Repo Rate di level 6% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang diselenggarakan hari ini, Kamis (21/3).
Ekonom Bank BCA David Sumual menilai BI tetap mepertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI rate karena masih khawatir dengan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada neraca perdagangan dalam negeri. Pada Januari 2019 defisitnya mencapai US$ 1,16 juta, meski bulan berikutnya membaik dengan surplus US$ 330 juta seiring kinerja impor yang menurun tajam.
"Masih khawatir CAD dan belakangan ini harga minyak mulai naik lagi," kata David kepada Katadata.co.id, Rabu (19/3). Harga minyak mentah brent di London ICE Futures Exchange untuk pengiriman Mei naik US$ 0,38 menjadi US$ 67,54 per barel. Sementara, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange untuk pengiriman April naik US$ 0,57 menjadi US$ 59,09 per barel.
(Baca: OPEC Pangkas Produksi, Harga Minyak Dunia Sentuh Level Tertinggi)
Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto yang menilai CAD menjadi salah satu faktor BI mempertahankan tingkat suku bunga. Selain itu, dia menilai Indonesia masih membutuhkan arus masuk untuk mengendorkan likuiditas industri keuangan dalam negeri. Hal itu yang membuat peluang untuk menurunkan suku bunga sangat kecil, meskipun kondisi inflasi rendah dan nilai tukar relatif stabil.
"Apalagi, kalau melihat data perbankan kita kan cukup jelas kalau DPK (dana pihak ketiga) kita tumbuhnya lebih lambat dari kredit. Jadi, bank juga perlu amunisi," kata Myrdal ketika dihubungi terpisah. Menurut dia, jika suku bunga moneter diturunkan, ini akan memicu penurunan bunga tabungan maupun deposito sehingga pertumbuhan DPK bisa lebih lambat lagi dan likuiditas semakin ketat.
(Baca: Neraca Dagang Februari Surplus, IHSG Sesi I Melesat 0,6%)
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukan pada Januari 2019, kredit tumbuh 11,97% secara tahunan (year on year/yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan Desember 2018 yang sebesar 11,8% (yoy). Namun, pertumbuhan DPK justru semakin lemah. DPK tercatat tumbuh 6,39% (yoy) pada Januari 2019, sedikit lebih lemah dibandingkan pertumbuhan pada Desember 2018 yang sebesar 6,5% (yoy).
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah juga memperkirakan BI mempertahankan tingkat suku bunga acuan untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. "Bank sentral akan mempertahankan interest rate differential (jarak antara inflasi dengan suku bunga acuan)," katanya.
(Baca: The Fed Tahan Bunga Acuan, IHSG dan Bursa Asia Kompak Meningkat)
(Baca: Rupiah Menguat Usai The Fed Pertahankan Suku Bunga)
Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, kemarin membuat keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran level 2,25% sampai 2,5%. Gubernur The Fed Jerome Powell mengisyaratkan tidak akan ada kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini.
Meski begitu, Piter belum melihat adanya potensi BI untuk menurunkan suku bunga acuan meski nilai tukar rupiah saat ini relatif stabil. Menurut dia, hal itu terlalu berisiko membuat semakin sempitnya interest rate differential sehingga bakal berefek pada modal asing keluar dan nilai tukar rupiah yang tertekan.
"BI baru ada kemungkinan menurunkan suku bunga kalau The Fed menurunkan suku bunga dan kondisi domestik seperti nilai tukar rupiah dan inflasi stabil," katanya.