Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) menjadi pendongkrak penerimaan negara tahun lalu hingga melebihi target. Namun, kondisi bisa berubah pada tahun ini seiring dengan harga SDA yang turun dan penguatan nilai tukar rupiah. Risiko tersebut sudah tampak pada awal tahun ini. Realisasi PNBP hanya Rp 18,3 triliun, turun 4,1% dibandingkan periode sama tahun lalu.

Secara rinci, pendapatan PNBP SDA tercatat sebesar Rp 9,8 triliun. Realisasi tersebut hanya tumbuh tipis yakni 1,03% dibandingkan periode sama tahun lalu. Dari jumlah tersebut, PNBP migas tercatat sebesar Rp 7,3 triliun dan nonmigas Rp 2,5 triliun. Sementara itu, PNBP lainnya sebesar Rp 8,2 triliun, turun 8,8% dibandingkan periode sama tahun lalu. Penerimaan negara pun disebut-sebut berisiko meleset seratusan triliun.

Direktur PNBP Kementerian Keuangan Wawan Sunarjo mengatakan, pihaknya akan meningkatkan pengawasan di sektor pertambangan untuk mengamankan target PNPB SDA. "Kami akan bekerja bersama dengan pajak dan bea cukai untuk joint analysis," kata dia kepada katadata.co.id, pekan lalu. Lewat joint analysis tersebut, pihaknya akan dapat membandingkan setoran royalti batu bara dan dokumen ekspornya.

(Baca: Defisit Anggaran Melebar, Capai Rp 45,7 Triliun per Januari 2019)

Sementara itu, PNBP lainnya diprediksi mampu mencapai target, meskipun secara tahunan terjadi penurunan di awal tahun. Adapun tentang kondisi 2018, ia menjelaskan, PNBP terdongkrak oleh kenaikan harga batu bara dan harga minyak, serta nilai tukar rupiah yang lemah. Selain itu, PNBP disokong oleh sistem administrasi untuk penyetoran PNBP yang jauh lebih baik.

Secara rinci, PNBP mencapai Rp 407,1 triliun atau 147,8% dari target pada 2018. Realisasi ini mengompensasi penerimaan pajak yang di bawah target. Alhasil, penerimaan negara mampu mencapai Rp 1.942,3 triliun atau 102,5% dari target.

(Baca: Berkat Uang Minyak, Penerimaan Negara 2018 Capai 102,5% dari Target)

Di sisi lain, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah perlu melakukan perluasan basis pajak untuk mengejar penerimaan negara di tengah harga komoditas SDA yang turun. "Perlu perluasan basis pajak dari data tax amnesty," ujarnya.

Selain itu, ia menilai pemerintah perlu segera mengesahkan aturan cukai plastik untuk menyokong penerimaan negara. Solusi lainnya, revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menurunkan target penerimaan negara. Ini juga artinya, penghematan belanja negara.

Sebelumnya, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memperhitungkan, ada risiko penerimaan negara meleset sekitar Rp 120 triliun imbas harga minyak dan batu bara yang di bawah perkiraan pemerintah. Alhasil, defisit APBN berpotensi melebar sekitar 0,8% dari target yaitu 1,84% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).  

(Baca: Peluang Indonesia Genjot Ekspor Batu Bara ke Tiongkok)

"Harga minyak mungkin lebih rendah dari US$ 50 per barel. Tidak ada yang bisa prediksi. Kalau lihat harga CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah), sejak tahun lalu mulai menurun," ujarnya. Sementara itu, 40% hasil minyak kelapa sawit dan batu bara dalam negeri diekspor ke Tiongkok, sedangkan pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu melambat.

Dengan melebarnya defisit APBN, ruang untuk ekspansi fiskal menyempit. "Kami mengalami ini pada 2014," ujarnya.