Cadangan devisa semakin menipis seiring kebutuhan besar untuk pembayaran utang luar negeri dan intervensi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Lantas, bagaimana kemampuan cadangan devisa untuk menghadapi tekanan kurs rupiah yang terus berlanjut?
Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa berada pada posisi US$ 114,8 miliar pada akhir September lalu, turun US$ 3,1 miliar dibandingkan posisi akhir bulan sebelumnya. Cadangan devisa mengalami tren penurunan sejak Februari, atau setelah menembus level tertingginya sepanjang masa yaitu US$ 131,98 miliar pada akhir Januari tahun ini.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai penurunan cadangan devisa cukup besar pada September lalu. Meski begitu, cadangan devisa masih aman lantaran cukup untuk membiayai lima sampai enam bulan impor atau di atas standar kebutuhan minimal yaitu tiga bulan impor.
Namun, Piter menilai pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu mewaspadai pergerakan cadangan devisa. Sebab, rupiah masih berisiko terus tertekan hingga tahun depan. Ia memperkirakan cadangan devisa berpotensi berada di posisi US$ 110 miliar pada akhir tahun.
"Ruang BI untuk melakukan intervensi menggunakan cadangan devisa akan semakin sempit," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (8/10). (Baca juga: Cadangan Devisa dan Data AS Bisa Jadi Pemberat Laju IHSG Pekan Ini)
Setali tiga uang, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira juga menyebut cadangan devisa masih memenuhi standar kecukupan yaitu tiga bulan impor. Namun, rasio cadangan devisa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) termasuk paling rendah di ASEAN. Hal ini jadi sorotan Bhima.
Menurut dia, rendahnya rasio tersebut menunjukkan kemampuan Indonesia untuk menahan shock eksternal masih kecil dibandingkan dengan besarnya pasar. Berdasarkan catatannya, rasio cadangan devisa terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 14%. Sementara itu, rasio Filipina 28%, dan Thailand sebesar 58%.
Bhima memperkirakan cadangan devisa akan terus mengalami penurunan hingga berada di posisi US$ 106 miliar. "Akan konsisten terkuras US$ 2-3 miliar per bulan. Tekanan membesar pada bulan Desember ketika bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, naikkan bunga acuan," ujar dia. (Baca juga: Bila Harga Minyak US$ 100, Kurs Rupiah Berisiko Tembus 16 Ribu)
Mengacu pada data Bloomberg, saat berita ini ditulis, nilai tukar rupiah diperdagangkan pada level 15.253 per dolar AS pada perdagangan di pasar spot, melemah 0,47% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu, atau 12,38% dibandingkan dengan posisi awal tahun ini (year to date).
Pelemahan kurs rupiah dipicu oleh arus keluar modal asing imbas berbagai isu eksternal dari mulai kenaikan bunga acuan AS hingga perang dagang AS dan mitranya. Tekanan terhadap rupiah diperberat oleh persoalan defisit transaksi berjalan di dalam negeri. (Baca juga: Rupiah 15.000 per Dolar AS, Pemerintah Disarankan Tahan Dividen Asing)