Risiko kedua, keterbatasan ruang fiskal meski ada tambahan penerimaan negara dari program pengampunan pajak (tax amnesty). Kondisi ini menyebabkan pemerintah kesulitan mendanai pembangunan infrastruktur dan mendorong pertumbuhan ekonomi. "Jadi pengeluaran belanja negara Rp 2.080,5 triliun (tahun ini), tetapi penghimpunan pajak itu relatif terbatas," ujarnya.

Risiko ketiga, Utang Luar Negeri (ULN) korporasi yang masih tinggi. Kondisi ini bisa menyebabkan risiko krisis jika nilai tukar rupiah melemah. Meski begitu, menurut dia, risiko terpantau terkendali lantaran sebagian ULN berjangka panjang. "Tapi sebagian ULN korporasi non bank itu jangka panjang, jadi sudah cukup baik dalam kelola risikonya," ujar dia.

Risiko keempat, tingginya tingkat kepemilikan asing di pasar keuangan domestik. Kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN), misalnya, sudah mencapai 40 persen. Maka itu, perlu dimonitor perkembangannya.

Adapun, untuk mencegah krisis dan mengatasi persoalan yang mungkin menimbulkan krisis, BI sudah menerapkan lima strategi. Pertama, memperkuat dan memperluas pengawasan makroprudensial untuk mengidentifikasi dini sumber tekanan. Kedua, melakukan identifikasi dan pemantauan risiko sistemik dengan menggunakan neraca keuangan untuk risiko sistemik (balance sheet of sistemik risk).

Ketiga, penguatan manajemen krisis. Keempat, mendukung upaya pendalaman pasar keuangan untuk memperkuat sistem keuangan. Kelima, memperluas komunikasi dan koordinasi dengan KSSK dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bauran kebijakan.

Halaman: