Maret 2016, Ketimpangan Ekonomi Kembali Turun

Donang Wahyu|KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
19/8/2016, 14.22 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil pengkajiannya akan tingkat ketimpangan ekonomi (gini ratio) penduduk Indonesia yang diukur berdasarkan pengeluaran pada bulan Maret 2016. Hasil kajian ini menunjukkan tingkat ketimpangan ekonomi Indonesia mengalami penurunan.

Kepala BPS Suryamin mengatakan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini ratio adalah sebesar 0,397 pada Maret 2016. Angka ini jelas menurun jika dibandingkan Maret tahun lalu 0,408 dan September 0,402.

"Artinya terjadi perbaikan pemerataan pendapatan periode Maret 2015 sampai dengan Maret 2016," ujar Suryamin di Kantornya, Jakarta, Jumat (19/8). (Baca: Dua Resep Sri Mulyani Menghadapi Badai Ekonomi)

Suryamin menjelaskan, setidaknya terdapat enam faktor yang mempengaruhi penurunan tingkat ketimpangan ini. Pertama, kenaikan upah buruh tani harian dari Rp 46.180 menjadi Rp 47.559 atau naik 2,99 persen pada periode Maret 2015-Maret 2016.

Kedua, kenaikan upah buruh bangunan harian sebesar 2,29 persen, dari Rp 79.657 menjadi Rp 81.481. Ketiga, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), terjadi peningkatan pekerja bebas pertanian dari 5,1 juta (Februari 2015) menjadi 5,2 juta (Februari 2016). Hal ini juga sejalan dengan peningkatan pekerja bebas nonpertanian dari 6,8 juta (Februari 2015) menjadi 7 juta (Februari 2016).

Gini Ratio (BPS)

Faktor keempat yaitu, rata-rata pengeluaran per kapita penduduk 40 persen terbawah meningkat dari Rp 371.336 pada Maret 2015 menjadi Rp 416.489 pada September 2015. Pengeluarannya terus meningkat menjadi Rp 423.969 pada Maret 2016.

Kelima, keberhasilan upaya pembangunan infrastruktur padat karya, bantuan sosial (pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan), serta perbaikan pendapatan pegawai negeri golongan bawah. Hal ini mampu mendongkrak pendapatan kelompok penduduk bawah.

(Baca: Tekan Kesenjangan Wilayah, Jokowi Percepat Bangun Infrastruktur)

Faktor keenam, adanya penguatan perekonomian penduduk kelas menengah ke bawah. Ini merupakan  dampak dari program pengembangan infrastruktur, pengembangan usaha, dan beragam perlindungan sosial.

"Ini merupakan dampak kebijakan pemerintah, ada paket 1 sampai 12 itu dan pembangunan infrastruktur seperti Trans Sumatera yang menyerap banyak pekerja golongan kelas menengah bawah," ujar Suryamin.

Secara lebih rinci, Suryamin menjelaskan gini ratio di daerah perkotaan pada Maret 2016 ini berada di angka 0,410. Angka ini turun 0,018 poin dibandingkan Maret 2015 di level 0,428 dan 0,009 poin dibandingkan September 2015 di level 0,419. Sama halnya yang terjadi di pedesaan, yang mengalami penurunan dari 0,334 di Maret 2015 menjadi 0,327 di Maret 2016 dan 0,002 poin dibandingkan September 2015 pada level 0,329.

(Baca: Target Angka Kemiskinan 2017 Lebih Rendah dari Tahun Ini)

Distribusi Pengeluaran (BPS)


Selama periode Maret 2015-Maret 2016, distribusi pengeluaran dari kelompok penduduk 40 persen terbawah masih dalam kategori ketimpangan rendah. Angkanya menurun, yaitu dari 17,10 persen pada Maret 2015 dan 17,45 persen pada September 2015, menjadi 17,02 persen pada Maret 2016.

"Poin paling penting adalah terjadi peningkatan pengeluaran di kelompok 40 persen golongan menengah. Sedangkan 20 persen golongan atas justru menurun. Artinya, ada arah pemerataan," ujar Suryamin.

Distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah di daerah perkotaan pada Maret 2016 tercatat sebesar 15,91 persen, meningkat dibanding Maret 2015 yang sebesar 15,83 persen. Namun, menurun jika dibandingkan September 2015 yang sebesar 16,39 persen. Sementara itu, di Pedesaan distribusi pengeluaran kelompok tersebut pada Maret 2016 adalah 20,40 persen, menurun jika dibandingkan Maret 2015 sebesar 20,42 persen dan September 2015 sebesar 20,85 persen.

Sebagai informasi, dari data tersebut, tercatat 7 Provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan ekonomi diatas rata-rata nasional. Provinsi tersebut yaitu, Jawa Timur (0,402), Sulawesi Tenggara (0,402), DKI Jakarta (0,411), Jawa Barat (0,413), Gorontalo (0,419), DI Yogyakarta (0,420), dan Sulawesi Selatan (0,426). Namun, secara akumulatif, gini ratio Indonesia cenderung menurun jika dibandingkan tahun 2015.