Selama paruh pertama 2016, penerimaan negara, khususnya dari sektor pajak, masih seret. Bahkan, realisasinya lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Alhasil, defisit anggaran bertambah Rp 42,7 triliun hanya dalam tempo satu bulan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan, penerimaan perpajakan per 30 Juni lalu mencapai Rp 518,4 triliun atau baru 33,7 persen dari target Rp 1.539,2 triliun yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016. Dibandingkan periode sama 2015, realisasi tahun ini juga lebih rendah Rp 17 triliun.
Sementara itu, penerimaan pajak hingga akhir Juni lalu mencapai Rp 458,2 triliun atau baru 33,8 persen dari target tahun ini sebesar Rp 1.355,2 triliun. Realisasi tersebut sama dengan akhir Juni tahun lalu.
Suahasil menjelaskan, realisasi penerimaan pajak yang cenderung stagnan hingga paruh pertama tahun ini disebabkan oleh minimnya penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) minyak dan gas (migas). Bahkan, penerimaan PPh dari sektor tersebut menurun 40 persen dibandingkan Juni 2015, yakni menjadi Rp 16,3 triliun.
“Ini karena harga minyak yang cukup rendah dibandingkan setahun lalu (sehingga PPh migas menurun),” kata Suahasil saat Rapat Kerja (Raker) dengan Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (13/7).
(Baca: Ekonomi Lemah, Dirjen Pajak Yakin Target Penerimaan Tercapai)
Sedangkan peneriman pajak nonmigas tumbuh 6,7 persen dibandingkan paruh pertama tahun lalu menjadi Rp 269,5 triliun. Penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bahkan melonjak 48,5 persen menjadi Rp 700 miliar.
Namun, penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menurun 4,5 persen menjadi Rp 167,7 triliun.
Dalam kesempatan itu, Suahasil juga menjelaskan penerimaan dari kepabeanan dan cukai selama enam bulan pertama tahun ini mencapai Rp 60,2 triliun. Realisasinya lebih rendah Rp 17 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu.
Penyebab utamanya adalah penerimaan cukai dan bea keluar mengalami penurunan masing-masing sebesar 29 persen dan 33 persen menjadi Rp 43 triliun dan Rp 1,3 triliun.
(Baca: Defisit Diperkecil, Pemerintah Yakin Ekonomi Tumbuh 5,2 Persen)
Sedangkan penerimaan bea masuk masih tercatat tumbuh 5,4 persen menjadi Rp 16 triliun. “Cukai rendah karena belum tingginya penjualan pita cukai (yang artinya konsumsi rokok rendah) dan bea keluar karena ekspor (belum meningkat),” kata Suahasil.
Masih rendahnya penerimaan pajak dan bea cukai pada semester I tahun ini memicu kenaikan defisit anggaran. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, total penerimaan negara per 30 Juni 2016 sekitar 35-36 persen dari target dalam APBN Perubahan 2016. Jadi, jumlahnya sekitar Rp 643 triliun.
Di sisi lain, total belanja negara pada periode yang sama sudah mencapai 42 persen dari target atau sebesar Rp 874,8 triliun. Artinya, defisit anggaran hingga semester I-2016 mencapai Rp 231,8 triliun atau 1,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 12.625 triliun.
(Baca: Harga Minyak Naik, Pemerintah Cuma Pangkas Belanja Rp 12,8 Triliun)
Jumlah defisit tersebut meningkat Rp 42,7 triliun dibandingkan akhir Mei lalu. Kala itu, defisit anggaran sebesar Rp 189,1 triliun atau 1,49 persen dari PDB. Sedangkan target defisit dalam APBN-Perubahan 2016 sebesar Rp 298,7 triliun atau 2,35 persen dari PDB.