Bank Indonesia (BI) memperingatkan risiko masuknya dana reptariasi hasil kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah. Jika instrumennya tidak dipersiapkan dengan baik maka berpotensi mengganggu stabilitas makroekonomi dan pasar keuangan domestik.
Berdasarkan kajian BI, penerapan tax amnesty bisa menambah penerimaan pajak sebesar Rp 45,7 triliun tahun ini. Sedangkan potensi masuknya dana repatriasi atau pemulangan dana dari luar negeri hasil kebijakan tersebut bisa mencapai Rp 560 triliun.
Gubernur BI Agus Martowardojo menilai, masuknya aliran modal (capital inflow) dalam jumlah besar, seperti repatriasi dana tax amnesty, di tengah masih terbatasnya instrumen keuangan bisa mempengaruhi stabilitas ekonomi di dalam negeri. Apalagi, masih ada aliran masuk dana investor asing belakangan ini seiring dengan perbaikan kondisi ekonomi Indonesia. Hal ini tentu berpotensi memberi tekanan pada pengelolaan makro ekonomi. Keterbatasan instrumen investasi juga bakal menaikkan harga aset-aset di pasar keuangan.
Di pasar surat utang, permintaan Surat Berharga Negara (SBN) akan meningkat. Padahal, persediaan SBN saat ini hanya Rp 288 triliun. Selain itu, banjir dana di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) juga bisa menurunkan suku bunga.
Dari sisi perbankan, Agus menjelaskan, dana hasil repatriasi akan menambah likuiditas di perbankan, terutama bank persepsi. Yakni bank umum yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menerima setoran penerimaan uang tebusan dan repatriasi pengampunan pajak. Efek lanjutannya, penyaluran kredit diprediksi akan meningkat.
(Baca: Gubernur BI Ungkap Lima Kunci Sukses Tax Amnesty kepada DPR)
“Bagaimana mengantisipasi tingginya arus modal yang masuk agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi,” kata Agus saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak dengan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (25/4).
Untuk mengantisipasi risiko tersebut, BI akan fokus pada dua kebijakan. Pertama, pelaksanaan tax amnesty harus konsisten dengan mendorong dana repatriasi ke instrumeninvestasi jangka panjang. Tujuannya agar tidak membebani makroekonomi jangka pendek. “Instrumen yang ada akan kami bicarakan lebih rinci,” katanya.
(Baca: Tarif Tax Amnesty Usulan Pemerintah Dinilai Terlalu Rendah)
Kedua, memanfaatkan dana repatriasi untuk pendalaman sektor keuangan dan pembiayaan pembangunan. Yakni dengan mengembangkan instrumen keuangan jangka panjang. Dalam hal ini, perlu ada sinergi yang optimal antara pemerintah dengan sektor keuangan.
Menurut Agus, likuiditas perbankan saat ini masih terbatas. Itu terlihat dari rasio tabungan terhadap pinjaman (Loan to Deposit Ratio/LDR) masih di kisaran 88-90 persen. Ia berharap dana repatriasi dari tax amnesty bisa ditanamkan di instrumen keuangan dengan jangka waktu minimal tiga tahun.
(Baca: Sepakat dengan Jokowi, DPR Gencar Bahas RUU Tax Amnesty)
Selain itu, penempatannya tidak bersamaan di masing-masing instrumen. Ia mencontohkan, ditaruh di deposito selama tiga tahun. Lalu, dimasukkan ke SBN dan saham untuk jangka waktu yang sama. "Jangan majority profile-nya secara bersamaan. Kalau sama-sama tiga tahun, nanti di akhirnya bisa terjadi tekanan dana keluar (capital outflow)," kata Agus.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Haddad juga mengusulkan agar repatriasi dilakukan bertahap. Selain itu, dia berpendapat bahwa dana repatriasi semestinya juga bisa masuk ke modal perusahaan. Dari sisi perbankan, dapat dibuatkan surat berharga khusus proyek infrastruktur. "Modal harus diperkuat karena sejalan dengan keinginan meningkatkan modal dan batas minimum modal," ujar dia.
(Baca: Ada Tax Amnesty, Pengusaha Hitung Pajak Bisa Bertambah Rp 200 T)
Dalam perubahan terakhir draf RUU Pengampunan Pajak yang diterima Katadata, pemerintah menyiapkan sejumlah instrumen keuangan untuk menampung repatriasi dana tax amnesty. Antara lain, deposito, surat utang negara (SUN) dan obligasi korporasi. Namun, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita pernah mengusulkan agar repatriasi dana tersebut tidak hanya dimasukkan ke dalam SUN, melainkan sebagai tambahan modal usaha. Ekspansi usaha tersebut bisa memicu efek berantai berupa pertumbuhan bisnis dan investasi di dalam negeri serta penyerapan tenaga kerja baru.
Jika ada Rp 1.000 triliun dana repatriasi yang masuk, aset yang bisa digulirkan untuk berbisnis mencapai Rp 2.000 triliun. Dari aktivitas bisnis itu bisa meraih penjualan sekitar Rp 3-4 triliun. Alhasil, pajak pertambahan nilai (PPN) setelah dua tahun kebijakan itu diterapkan bisa bertambah Rp 200 triliun saban tahun.