KATADATA - Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, pajak tetap menjadi sumber pemasukan terbesar, hampir 75 persen dari total penerimaan Rp 1.822,5 triliun. Agar memenuhi target tersebut, Direktorat Jenderal Pajak menyiapkan sejumlah langkah dalam meningkatkan transparansi data wajib pajak. Juga melakukan transformasi perpajakan.
Direktur Perpajakan II, Direktorat Pajak, John Hutagaol mengatakan cakupan pajak atau tax coverage di Indonesia baru 55 persen. Artinya masih ada 45 persen dari kue ekonomi dalam negeri yang belum tersentuh pungutan negara. Dari sekitar 27 juta wajib pajak pun hanya 57,58 persen yang patuh menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Sementara itu, rasio petugas pajak terhadap jumlah wajib pajak 1:800. Jumlah ini jauh lebih rendah dibanding lembaga pajak di Australia, Jepang, atau Jerman.
“Pajak jadi satu-satunya risiko fiskal hingga 2016 ke depan. Maka penerimaan pajak harus bisa menjaga kesinambungan kebutuhan APBN,” kata John dalam acara Ikatan Akuntan Indonesia di Balai Kartini, Jakarta, Kamis, 10 Maret 2016. (Baca: Rekor Baru, Penerimaan Pajak Tembus Rp 1.000 Triliun).
Dalam kesempatan yang sama, Komisaris Independen Bank Mandiri Aviliani pun melihat hal serupa atas situasi ekonomi dan perpajakan saat ini. Menurutnya, jumlah orang kaya Indonesia ditaksir mencapai 50 jiwa. Karena itulah, setidaknya wajib pajak pribadi mencapai angka tersebut. Belum lagi bila mempertimbangkan kelas menengah yang diperkirakan hingga 150 juta. “Maka harus mulai ada ekstensifikasi. Tahun ini semestinya lebih berlaku untuk masyarakat yang belum punya Nomor Pokok Wajib Pajak” ujarnya.
Menurut dia, upaya ini krusial dilaksanakan seiring dengan tersungkurnya harga komoditas yang menyebabkan pendapatan perusahaan menurun. Alhasil, pajak pertambahan nilai (PPN) dipastikan jatuh. Sebagai alternatif pemasukan adalah memperbesar pajak penghasilan perorangan (PPh 21). Namun, bila lagkah ini pun kurang berhasil juga, pemerintah mesti cari pilihan lain, misalnya meningkatkan revaluasi aset. (Baca juga: Menteri Keuangan akan Pangkas Target Pajak Sesuai Kondisi Ekonomi).
Untuk mendorong penerimaan tersebut, Direktorat Pajak sedang menyiapkan sepuluh langkah. Pertama membahas lima Rancangan Undang-Undang yakni Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Ketentuam Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Bea Materai, serta Pengampunan Pajak alias tax amnesty. Kedua melakukan tranformasi kelembagaan menjadi Badan Penerimaan Perpajakan yang setara dengan Kementerian dan Lembaga. Termasuk untuk meningkatkan dana bagi Direktorat Pajak yang saat ini Rp 4,9 triliun, setara 0,53 persen dari realisasi penerimaan pajak.
“Produk Domestik Bruto kita terbesar di ASEAN. Tapi dengan kapasitas terbatas di Direktorat Pajak, jadi tidak optimal menjaga potensi pajak di Indonesia, maka perlu ditransformasi kelembagaannya,” kata John. (Lihat juga: Kejar Target 2016, Pemerintah Bidik Wajib Pajak Pribadi).
Ketiga membentuk direktorat perpajakan internasional dan direktorat intelijen perpajakan. Langkah selanjutnya tetap mendorong pertumbuhan ekonomi melalui stimulus pajak. Lalu, menggunakan sistem penandaan wilayah atau geo tagging. Keenam melakukan intensifikasi berbasis subjek objek pajak yakni dengan sistem pemetaan, profiling, dan benchmark. Menurut John, bila ada perusahaan properti atau pendidikan yang melaporkan SPT di bawah benchmark akan dikaji lebih dalam. Ini merupakan pendekatan secara spesifik dan akuntabel.
Langkah ketujuh mengadakan konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan. Selanjutnya mempersiapkan keterbukaan informasi mengenai perpajakan melalui kebijakan Pengampunan Pajak. Sebab, Indonesia akan menerapkan pertukaran informasi atau Automatic Exchange of Information terkait pajak secara otomatis pada September 2018. “Maka ketika pemerintah mengusulkan RUU Tax Amnesty dimasukan sebagai bridging sebelum masuk ke era serba terbuka tadi,” ujar John.
Kebijakan ke sembilan yang dilakukan Direktorat Pajka yakni mendorong revisi UU Perbankan dan Perbankan Syariah untuk membuka data nasabah. Terakhir, mendorong percepatan pembahasan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk kemungkinan membuka rekening nasabah bagi keperluan pajak. Hal ini terutama untuk mengikuti Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) tahun ini. Informasi yang diperolehnya, OJK dan Kememterian Keuangan sudah pada titik final untuk maju atau tidak memberlakukan FACTA.