KATADATA - Pemerintah mulai membatasi pembangunan beberapa proyek karena defisit anggaran diperkirakan melebar. Target awal, defisit dipatok 1,9 persen. Namun, dalam perkembangan terakhir, pemerintah memprediksi defisit fiskal mencapai 2,59 persen.
Kementerian Keuangan mencatat belanja pemerintah hingga 5 November kemarin sudah mencapai 71 persen dari pagu Rp 1.984,1 triliun. Sedangkan penerimaan atau pendapatan negara hanya 63 persen dari pagu Rp 1.761,6 triliun. Artinya, defisit anggaran mencapai Rp 298,9 triliun atau 2,55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pengurangan belanja yang tidak produktif dilakukan untuk menjaga agar defisit tidak melebar. Misalnya, pemangkasan belanja dinas. “(Belanja modal) semestinya jangan (dikurangi). Kalau itu akan mengurangi kegiatan ekonomi,” kata Darmin di kantornya, Selasa malam, 10 November 2015.
Pernyataan Darmin dibenarkan oleh Kementerian Keuangan. Hanya anggaran yang tidak produktiflah yang dikurangi. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menyebutkan tahun ini sudah memotong anggaran belanja tidak produktif senilai Rp 16 triliun. Hal yang sama sebenarnya telah dilakukan pada tahun lalu dengan mengiris anggaran sebanyak Rp 43 triliun. Hal ini berjalan sejak empat tahun lalu.
Meskipun Askolani membenarkan bahwa penyerapan belanja modal tidak sesuai rencana, ia tak mau anggaran tersebut digeser untuk belanja yang kontraproduktif. Karena itu Kementerian Keuangan menolak usulan kementerian dan lembaga (K/L) yang meminta mengalihkan anggaran belanja modal untuk belanja barang.
“Sekarang ini, kegiatan kementerian atau lembaga ‘lemaknya’ sudah tidak banyak lagi. K/L suka mengeluh kurang anggaran belanja dinas. Kami lihat dulu, penting tidak? Pengetatan ini jadi baseline kami untuk menghitung belanja di 2016,” ujar Askolani. (Baca juga: Setoran Pajak Seret, Pemerintah Tambah Utang untuk Menambal Defisit).
Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagaimana dikutip Kontan, memastikan ada beberapa proyek dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yang dikurangi. Pertimbangannya juga mengacu pada pendapatan negara yang diperkirakan tidak sesuai rencana. Sehingga, tak terhindarkan lagi terjadi selisih antara target dan penerimaan (shortfall) pajak sebesar Rp 160 triliun.
Soal ketimpangan ini memang menjadi masalah yang cukup pelik. Bayangkan, realisasi penerimaan pajak per 4 November lalu baru mencapai Rp 774,4 triliun atau 59,8 persen dari total target penerimaan pajak 2015 senilai Rp 1.294,3 triliun. Melihat angka ini, Direkorat Jenderal Pajak memperkirakan penerimaan pajak hingga akhir tahun cuma 87-88 persen dari target. Artinya, shortfall penerimaan pajak tahun ini mencapai Rp 155 triliun.
Nah, karena itu, selain membatasi penyaluran anggaran ke belanja tidak produktif, Kementerian Keuangan juga menggunakan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara untuk mengawasi pembatasan belanja secara komprehensif. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan fitur utama sistem ini yakni otomatisasi, mendukung penelusuran audit sebagai bentuk transparansi. Sistem Perbendaharaan menyediakan data komprehensif dan dilaporkan dalam waktu yang sebenarnya (real time).